Selasa, 28 Juli 2020

Makalah Norma Sosial Di Masyarakat Suku Batak


MAKALAH NORMA SOSIAL
DI MASYARAKAT SUKU BATAK


Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Anthopologi Keperawatan Semester I

Disusun oleh:

     Nurdyah Ayu Oktaviani
P1337420117002
1­-A1
DIII Keperawatan Semarang

PRODI D III KEPERAWATAN SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Makalah Tentang Norma Sosial Di Masyarakat Suku Batak”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini dapat diselesaikan berkat bimbingan dan bantuan sejumlah pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
  1. Dosen Pengampu Mata Kuliah Anthopologi Keperawatan Bapak Purnomo. SKM. M.Kes
  2. Kedua Orang Tua yang selalu memberikan motivasi kepada kami
  3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat.


                                                                        Semarang, 8 November 2017



         Penulis




DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................
i
KATA PENGANTAR ..........................................................................
ii
DAFTAR ISI .........................................................................................

iii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................
1
A.    Latar belakang ........................................................................
1
B.     Rumusan Masalah ..................................................................
2
C.     Tujuan Penulisan ....................................................................
2
D.    Manfaat Penulisan ..................................................................

2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................
3
A.  Norma Keagamaan ..................................................................
3
B.  Norma Kebiasaan .....................................................................
9
1.      Martutuaek (Kelahiran) ....................................................
9
2.      Pasahat Tondi (kematian) ................................................
3.     Mardebata (peribadatan atas niat seseorang) ..............
4.     Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit) .....
5.     Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan) ....
C.     Norma Kesopanan .......................................................................
1)      Sistem Kekerabatan (Partuturan) ........................................
2)      Sastra Kebijaksanaan Batak ................................................
15

20
21

21

22
23
26


BAB III PENUTUP................................................................................
31
A.    Simpulan ..................................................................................
31
B.     Saran .........................................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA .…………………………………....…....…….
32

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar. Norma tersebut berfungsi untuk mengatur tingkah laku masyarakat supaya di dalam kehidupan bermasyarakat tercipta keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Untuk itu masyarakat mau tidak mau harus mematuhi norma-norma yang berlaku di suatu daerah, misalnya Suku Batak. Suku Batak mempunyai norma-norma sosial seperti norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan. Norma-norma tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat Suku Batak supaya dalam kehidupan bermasyarakat tercipta keharmonisan dan tentu terhindar dari sanksi-sanksi yang telah ditentukan. Norma-norma sosial di lingkungan masyarakat Suku Batak akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan materi pada makalah ini.



B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, kami akan membahas norma sosial di masyarakat suku batak diantaranya:
1.      Apa saja Norma Keagamaan di Suku Batak?
2.      Apa saja Norma Kebiasaan di Suku Batak?
3.      Apa saja Norma Kesopanan di Suku Batak?

C.   Tujuan
Dari rumusan masalah diatas kami mempunyai tujuan:
1.      Untuk mengetahui Norma Keagamaan di Suku Batak.
2.      Untuk mengetahui Norma Kebiasaan di Suku Batak.
3.      Untuk mengetahui Norma Kesopanan di Suku Batak.

D.   Manfaat Masalah
Manfaatnya adalah sebagai informasi bagi pembaca mengenai norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat pada Suku Batak.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Norma Keagamaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21).
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu
A.    Mulajadi Nabolon
1.        Siapa mulajadi nabolon bagi orang batak toba
Asal-usul dan ati nama Masyarakat Batak Toba menamai Allahnya (The High God) dengan Mulajadi Nabolon. Ada beberapa variasi nama yang dialamatkan kepada Allah Tinggi Orang Batak tersebut yakni: Ompu Tuan Mulajadi Nabolon, Debata Mulajadi Nabolon, Mulajadi Nabolon, Ompu Silaon Nabolon, Tuan Bubi Nabolon, dan Raja Minangkabau. Dari beberapa variasi nama itu, nama Mulajadi Nabolon merupakan nama yang paling umum dan sering digunakan dalam literatur Batak Toba.
Arti Mulajadi Nabolon sendiri diartikan sebagai Pemula Agung Genesis (menjadi alasan mengapa tulisan ini mau tidak mau menghubungkan Mulajadi Nabolon dengan penciptaan, sebagaimana disebut dalam Pengantar). Mulajadi merupakan komposisi dari 3 kata: mula, jadi, dan bolon. Mula berarti awal atau permulaan; jadi berarti menjadi (dalam bentuk aktif intransitif, manjadi). Bolon berarti besar, agung. Nabolon adalah unsur gelar yang merupakan paduan dari 2 kata: na (yang) dan bolon (besar, agung). Karena merupakan unsur nama keduanya dipadukan. Kodding mengartikan Mulajadi Nabolon dengan “der groβe Anfang des Werdens oder der seinen Anfang in sich selbst hat.” Oleh Edwin M. Loeb diterjemahkan dengan “Pemula Agung segala yang ada atau ‘Dia yang memiliki awal dalam dirinya sendiri.’” Ph. L. Tobing, mengikuti Warneck, menyebutnya sebagai Sang Asal Kejadian (The Origin of Genesis). Sementara Anicetus B. Sinaga menerjemahkannya dengan Sang Pemula Agung Genesis.
Sebelumnya, dalam budaya Batak Toba, perlu dipahami perbedaan arti: mula dan bona. Memang, kedua-duanya menunjuk pada ide/paham permulaan. Bona (marbona) bisa dibandingkan dengan batang atau dasar dari sebuah pohon. Bona menyatakan asal-usul (origin) yang bentuk aktif transitifnya adalah ‘marbona.’ Kata ini tidak pernah dihubungkan dengan nama Allah Tinggi. Sementara, mula berarti awal. Memaknai nuansa kata ini, maka Mulajadi Nabolon diartikan sebagai ‘Pemula dari Genesis’. Dari analisis ini kita sampai pada kesimpulan: a. Ciptaan itu selalu mulai dengan waktu berlawanan dengan awal yang abadi dari Allah Tinggi, b. Allah Tinggi adalah Pemula tidak hanya sebagai “awal.” Dia dipahami sebagai penyebab kejadian yang dengan aktif memulai penciptaan; ‘Awal Agung Genesis’ menjadi ‘Pemula Agung Genesis.’
Orang Batak Toba memakai terminologi langit untuk menyebut surga. Diyakini bahwa surga terdiri dari 7 lapis/tingkat (langit sipitu lampis). Mulajadi Nabolon tinggal di surga paling tinggi, pada langit ketujuh. Keyakinan ini tampak dalam kata-kata doa datu Orang Batak Toba: Daompung Debata natolu, na tolu suhu na tolu harajaon sian langit na pitu tindi, sian ombun na pitu lampis, sahata saoloan Ho dohot Debata mulamula, Debata Mulajadi, na pande manuturi, na malo mangajari.
2.      Mulajadi nabolon sebagai allah yang mengatasi waktu
Mulajadi Nabolon adalah Awal yang abadi “Adong ma nasaingan, nasaingan ni narobi, namargoar Ompunta Tuan Bubi na Bolon i, ima Debata na sasada i.” ‘Pada awal mula’ menunjukkan mula yang abadi, Mulajadi Nabolon. Tampubolon membuat rumusan yang menegasikan temporalitas Allah Tinggi: ‘Dia tidak mempunyai awal, datang dari yang tak berawal, yang tidak berawal dan berakhir.’ (Tampubolon, 1964:3).
Immoralitas Mulajadi Nabolon Ungkapan Toba menyebut Mulajadi Nabolon sebagai na so ra mate, na so ra matua (…..dia tidak mati atau bertambah tua…). Pernyataan ini menegasikan pengalaman human manusia yang bertambah tua dan mati. M. Loeb menyimpulkan bahwa Mulajadi Nabolon immortal dan Mahakuasa. Kekekalan sebagai bagian dari transendensinya. Kekekalan Allah menjadi komponen transenden karena dua hal ini:
Ø Mulajadi Nabolon memiliki keberadaan, hidup aktual, dan sempurna dalam dirinya sendiri berbeda dari dan tak sama dengan ciptaan.
Ø Penjadian ‘dunia fenomenal’ dapat diperkecil pada aktivitas penciptaan Allah Tinggi.
3.        Mulajadi nabolon disapa sebagai ompu(ng)
Kedua kata Ompu dan Ompung mempunyai arti yang identik. Kata Ompung biasa dipakai sebagai bentuk vokatif/sapaan. Dalam budaya Batak Toba, gelar Ompu menunjuk pada setiap orang dari generasi satu kakek atau mereka yang lebih tua. Sapaan akan gelar itu menandakan kuasa (power), kehormatan (dignity), dan kekudusan/mulia (holiness).
Warneck menyebut Allah Tinggi dengan Ompu Tuhan Mulajadi Nabolon. Sementara, W.A. Braasem menyebut Ompunta Debata Nabolon dan Ompunta Tuan Bubi Nabolon. Dalam konteks religius, Ompu ditujukan untuk hal yang dianggap kudus. Para dewa dan hal-hal supernatural termasuk Allah Tinggi disebut Ompung. Gelar Ompung adalah gelar terluhur dan tertinggi. Keluhuran dan kemuliaan Mulajadi Nabolon itu tampak dalam ungkapan: “Ho, ale Ompung, Mulajadi Nabolon, na hundul di tatuan, di ginjang ni ginjangan, di langit ni langitan.”


B.     Debata Asi-asi
Debata Asi-asi ( Manuk-Manuk Hulambu jati atau Raja Pinang Habo ) adalah mahluk pertama yang diciptakan oleh Debata Mulajadi Nabolon, berparuh besi berkuku gelang yang berkilauan. Mengenai bentuknya, seperti kupu-kupu yang sangat besar dan mempunyai telur seperti periuk yang sangat besar, wajahnya seperti sarung bintang Rumariri. Kemudian kepada Debata Asi-asi, Mulajadi Nabolon pernah bersabda bahwa Debata Asi-asi ditakdirkan hanya bisa menerima segala kata-kata dari manusia. Memberkati manusia supaya selalu bergondang. Bila yang diinginkan gondang Debata Guru maka baju yang di gunakan harus berwarna hitam, Jika yang diinginkan gondang Debata Sori baju yang digunakan harus berwarna putih dan jika yang diinginkan gondang Debata Bulan maka baju yang digunakan harus berwarna merah. Biasanya permintaan atau ritual tersebut diatas dilaksanakan satu kali dalam setahun. Namun bukan dalam hal ini saja setiap manusia selalu membutuhkannya, tetapi dalam segala hal yang diperlukan. Dan apabila suatu hari nanti ada manusia yang bungkuk, yang buta, yang tuli, yang satu tangan dan yang satu kaki, maka mereka adalah golongan dari orang-orang yang menghinanya, tetapi apabila ada anak satu-satunya yang bersedih hati, manusia yang banyak keturunan, raja dan panglima maka mereka adalah orang-orang yang selalu bersyukur dan memanggilnya, sebab apa dan bagaimanapun manusia adalah titisannya.

C.     Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi.
Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10).
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilainilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga yang dia miliki.
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
B.     Norma Kebiasaan
1.      Martutuaek (kelahiran)
1)      Upacara menjelang kelahiran
Manusia berada di kandungan selama sembilan namun menurut keyakinan suku batak pada zaman dahulu apalagi khususnya dengan ugamo malim, terjadinya manusia menjalani rentan waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu hanya sembuilan bulan, dan munurut orang batak selama tiga bulan lagi berada di dalam kandungan ayahnya. Sebab jika tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak mengandung.
Keyakinan suku batak terhadap kodrat kandungan pada zaman dahulu yaitu :
Bulan 1 : benih tiga bulan dalam kandungan ayah. Benih kejadian ada pada ibu. Roh dan Rohani bercampur dengan roh jasmani ditambah kodrat Mulajadi berdiam di bumi suci rahim ibu.
Bulan 2 : telah bertambah Debata Natolu di bumi suci dimana mendapat getaran, dan jika sudah ketemu maka akan terbentuk, hal ini terjadi sampai bulan ke empat.
Bulan 5 : pada bulan kelima, terjadilah proses terbentuknya otak manusia dalam bumi suci.
Bulan 6: prosesbulan keenam adalah proses terjadinya urat manusia dan sudah mulai bergerak.
Bulan 7: pada bulan ketujuh adalah proses terjadinya tulang.
Bulan 8: pada bulan kedelapan bayi sudah hamper rampung dan sudah mulai bolak-balik seta mulai terjadinya rambut.
Bulan 9:  
proses pemisahan air ketuban
proses pemisahan bungkus
proses pemisahan tali-tali
proses pemisahan darah pengiring maut dan tinggal menunggu hari lahirnya.
Setelah sembilan bulan dalam kandungan maka bayi tersebut mulai berputar, selama tujuh hari. Tiba pada hari ketujuh setelah bayi tersebut berputar sebayak tujuh kali, maka pintu bumi pun terbuka dan bayi tersebut keluar dan kemudian menangis memulai hidup ke zaman ini.
Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan saumi istri jangan dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit batuk-batuk, dan cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala yang diinginkan sebaiknya harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si anak yang akan lahir di kemudian hari akan terkendala dalam mencari hidup”. Sebelum si ibu melahirkan, sebaiknya orang tua dari si ibu memberikan makanan adat batak berupa ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan agar si ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara .
Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil Sibaso (dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk melahirkan yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan kemudian dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu untuk ditelan. Daun ubi rambat dan daun bunga raya direbus beserta air dari pancuran disaring lalu diminumkan kepada si ibu mengarah ke bawah.
2)      Upacara Saat Terjadi Kelahiran
Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang akan lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara demonstrative walaupun kelahiean itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu dilakukan di depan rumahnya dengan menuimbulkan suaa keras dan jendela rumah pun dibuka lebar-lebar dan asap pun membubung dari perapian dapur. Inilah yang menjadi tanda bahwa ada terjadi kelahiran, sehingga warga kampung merasa terpanggil untuk melihat kebahagiaan tersebut.
Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu, lalu sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman ari-ari bayi pada orang batak biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama hidup hanya satu kali kita bisa lihat wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku batak meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau saudara dari anak yang baru lahir dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari itu harus dijaga dengan baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok kecil yang diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut, dan tujuh lembar daun sirih.
Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan mengunyahnya dan kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan dalam saluran pencernaan makanan yang pertama yang disebut Tilan (kotoran pertama), bahkan siduku memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam, bersama Soit (sebuah anyaman kalu7ng yang terdapat dari sebuah kayu) dan hurungan Tondi (buah kayu yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut terus menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk memotong pusar tadi, yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.  
3)      Upacara setelah kelahiran
œ Mangirdak :dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan dalam memberikan semangat.
œ Pemberian Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.
œ Mengharoani: sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.
œ Martutu Aek: pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja . Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.
œ Mengallang Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan memotong ayam dan memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau ”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah melahirkan tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah. Makna spiritualitas yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap warga yang sekampung dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.
œ Selain jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit atau Marambit (harafiahnya berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang diadakan keluarga untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi). Pada kesempatan inilah keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah yang disebut indahan arian (makan siang) kepada cucunya ataupun pemberian seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang dapat dibagi-bagikan semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.
œ Mebat atau Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka keluarga pun memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau melawat (mebat,mengebati) kepada ompungnya (terutama ompungbao) dan keluarga lain seperti tulang. Ketika melakukan kunjungan, keluarga ini membawa makanan (memotong seekor babi) kepada ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos parompa (ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen batak modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan sebab makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara emosional kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.
œ Paias Rere: ada kalanya suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung mertuanya dan melahirkan anak disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu, keluarga mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima kasih atas kesibukan mertua dalam mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen batak modern yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere ini harus dikritisi dan diberi makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi kita anak laki-laki dan perempuan sama saja. Inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Paias Rere.
œ Ulos Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao kepada cucunya. Pada zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekaranfg dalam prakteknya ulos parompa tinggal merupakan symbol kasih ompungbao sebab komunitas batak modern sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau ayunan untuk menggendong bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama di kota-kota untuk mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi seolah-olah semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir. Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas yang terkandung dalam pemberian ulos parompa adalah menunjukkan kedekatan atau perhatian yang besar dari ompungbao kepada si anak yang lahir itu.
œ Dugu-dugu: sebuah makanan cirri khas batak pada saat melahirkan, yang diresep dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini bertujuan untuk mengembalikan peredaran urat bagi si ibu yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor bagi ibu yang melahirkan, menambah dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus memberikan kekuatan melalui asi kepada anknya.


Dasar Hukum Martutuaek
1)      Setelah bayi yang lahir genap erumur satu bulan, barulah boleh ditabalkan namanya dalam suatu upacara yang ditentukan waktunya.
2)      Ibadat ini dilaksanakan dengan persembahan dupa dan pangurason yang berisi dua buah jeruk purut. Selain itu ada kain putih yang melambangkan kesucian.
3)      Tidak boleh dibawa bayi yang baru lahir itu ke mata air sebelum dilaksanakan upacara martutuaek.
4)      Apabila keadaan waktu yang membuat terpaksa anak itu dibawa bepergian dan kebetulan pula melewati mata air, maka pada waktu pemberian namanya, sia anak tidak perlu lagi dibawa ke mata air untuk memandikannya.
5)      Tidak ada alasan kemiskinan untuk tidak mentaati aturan agama Malim (martutuaek), telah tertulis dalam pustaha habonoron (sumber hukum)  yang berbunyi “nipisna mantet neangna, hapalna mantet dokna” artinya dilaksanakan sesuai kemampuan.
6)      Semua upacara agama yang merupakan aturan (ibadat dalam agama Malim) harus dipimpin oleh pemimpin ritual (ihutan atau wakilnya) kecuali upacara Mararisabtu.
2.      Pasahat Tondi (kematian)
Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan sangat khas. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal.
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati:
1.      Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu),
2.      Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar),
3.      Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon),
4.      Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan
5.      Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua).
Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi dari banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono,1984:24).
Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat Batak (terkhusus Batak Toba), karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk orang yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat meninggalnya memang dikarenakan proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang meninggal dalam status saur matua, hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/LUNAS. Dalam masyarakat Batak, hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang itu LUNAS, maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.
Masyarakat Batak biasanya mengadakan acara seperti acara pernikahan, dengan menampilkan alat musik berupa organ untuk bernyanyi, makan makan seperti menyembelih hewan, minum minuman tradisional seperti tuak. Alat musik organ digunakan di daerah perantauan umumnya, namun di daerah aslinya, Sumatera Utara, gondang sebagai alat musik khas Bataklah yang digunakan. Ini semata-mata karena alat musik gondag yang sulit ditemukan di daerah perantauan. Untuk peyembelihan hewan, juga ada kekhasannya. Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya simbol tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang meninggal dalam status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan disembelih oleh keluarga Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang meninggal terbilang sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang disembelih, maka anggapan orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih positif, yang berarti anak-anak yang ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan sana.
Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara, dsb.
Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki dari pihak isteri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka).
Jenazah yang telah dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di tengah-tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Di sebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan di sebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Di sinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas (orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa : juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara) (Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Namun bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Selepas ritus pembagian jambar juhut, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang meninggal saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor). Tor-tor adalah tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat musik tradisional khas Batak). Gondang sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak, terdiri dari seperangkat instrumen yakni : 4 ogung, 1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1 gondang, 1 sarune.
Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat). Ibadah bisa dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan ke dalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya), ibadah singkat dilaksanakan (berdoa), barulah jenazah yang sudah di dalam peti yang tertutup dikuburkan.
Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.
Ini adalah bagian dari ritual kematian adat Batak, khususnya Batak Toba. Memang unik, tetapi itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti prosesi ini sendiri. Kematian yang seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda tawa dan riuhnya pesta pakai musik, layaknya pesta pernikahan, hanya jika mendiang meninggal dalam status SAUR MATUA tadi. Ya, ini memang adatnya, kita tidak mungkin  menolak ataupun menentangnya. Tetapi saya bangga memiliki budaya seperti ini, penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di dunia ini.
Dasar Hukum Pasahat Tondi
a.       Tidak boleh menangisi bahkan meratapi orang yang sedang sakit sekarat serta orang yang sudah meninggal dunia. Hal itu akan berakibat terhambatnya ruhnya menghadap Debata.
b.      Tidak boleh makan di rumah keluarga si mayat selama jenazah itu belum dikuburkan.
c.       Terlebih dahulu tanah kuburan disucikan dan diberitahu kepada Nagapadohaniaji sebelum tanah itu digali.
d.      Jenazah harus dimandikan sampai bersih dengan beralaskan kain putih. Apabila sudah bersih, maka jenazah itu dibalut dengan kai putih dan baru kemudian dimasukkan ke dalam peti jenazah.
e.       Apabila sudah didoakan agar dihapuskan dosa-dosanya, jenazah disucikan kembali. Barulah kemudian peti jenazah itu boleh ditutup dan dibawa ke kuburan.
f.       Selama tujuh hari dan tujuh malam, rumah tempat persemayaman mayat harus isucikan.
·         Adab terhadap Jenazah
Jika yang meninggal anak kecil,hukumnya harus segera dikebumikan, tetapi jika yang meninggal itu orang dewasa, atau lansia maka boleh saja disemayamkan lebih lama selama tiga hari batas maksimalnya. Dikarenakan supaya kerabat yang dari jauh atau merantau atau yang sedang bepergian dapat melihat jenazah untuk yang terakhir kalinya.
3.     Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
Secara harfiah, mardebata bermakna “menyembah Debata” menurut istilah adalah, upacara penyembahan kepada Debata dengan perantaraan sesaji yang bersih yang diantarkan melalui bunyi-bunyian gendang selengkapnya (gondang sebangunan) atau gendang kecapi (gondang hasapi).[1][27]
Dasar Hukum Mardebata
1)      Barangsiapa yang lupa tentang patik patuan Raja Malim (Raja Nasiakbagi) harus ditegakkannya sebuah langgatan atau podium yang didalamnya berisikan sebuah sitompion. Bersamaan dengan itu harus dipergelarkan gondang sabangunan dan disediakan juga ayam jantan dan betina, kambing putih serta lembu stio-tio.
2)      Ada upacara mardebata yang sifatnya sebagai ungkapan rasa syukur atas berkat dari Debata.
4.      Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit)
Arti mangan na paet dalam bahasa Batak adalah “memakan yang pahit” , sedangkan meruut istilah adalah suatu aturan (ibadat) yang wajib diamalkan oleh setiap warga parmalim pada setiap akhir tahun.
Dasar Hukum Mangan Na Paet
1)       Apabila sudah tiba diujung tahun, tepatnya pada hari 29 dan 12 menurut kalender Batak diharuskan warga parmalim untuk berkumpul di Bale Pasogit Partonggoan  (di pusat) atau di Bale Parsantian (di Cabang0 untuk beribadat dengan tujuan “menebus dosa”
2)       Harus diyakini bahwa memang pahit rasanya akibat dari dosa yang sudah dilakukan mulai dari pangkal tahun hingga ujung tahun.
3)       Disebabkan penderitaan yang dialami dan juga dosa yang diperbuat sehingga yang pahit itu suatu bukti kesungguhan hati (menebus dosa dan bertaubat) dalam ibadat mangan na paet.
4)       Tidak boleh memakan segala yang dapat mengenyangkan perut dan mengerjakan “keinginan diri” termasuk hasrat seksual selama menjalankan ibadat.
5)       5). Orang yang sudah menebus dosa meskipun tidak disaksikan oleh orang lain dan menegakkan amal didalam kesucian tuhan, yakinlah pada hari esok ia akan mendapatkan kehidupan tondi dan sedikitpun tak merasa takut akan cobaan dan ujian yang akan datang.
5.      Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan)
1)      Apabila hendak kawin dengan anak parmalim, maka dari pihak anak perempuan harus memberikan dua belas rupiah, sedangkan dari pihak anak laki-laki sebanyak enam rupiah sebagai wujud gambaran adat yang keduanya diletakkan diatas parbuesanti.
2)      Apabila hanya pengantin perempuan yang anggota parmalim, sedang pengantin laki-laki bukan berasal dari agama Malim sementara mereka berdua harus dinikahkan dengan tata cara agama Malim, maka untuk ini pengantin laki-laki harus lebih dulu masuk menjadi penganut agama Malim dengan memberikan persyaratan yaitu memberikan uang dua rupiah dan kain putih tujuh hasta yang diletakkan diatas parbuesanti.
3)      Apabila pengantin laki-laki saja yang hanya penganut agama Malim sedangkan pengantin perempuan berasal dari penganut agama lain, sementara tata cara perkawinan bersikeras dinikahkan menurut agama Malim, maka perempuan harus lebih dulu memberikan pengakuan lisan menjadi penganut agama Malim.

C.    Norma Kesopanan
Didalam budaya Batak yang turun temurun sampai saat ini dan selalu dilaksanakan adalah soal perjodohan, dimana banyak hubungan antara sesama orang batak yang semarga ataupun berlainan marga dan berlainan rumpun marga tidak boleh saling menikah, hal ini dilakukan karena peraturan adat yang masih berlaku.
Dalam Suku batak hal ini adalah peraturan, yang terkait erat dengan hukum dalihan na tolu yaitu
1.      Somba Marhula-hula
2.      Manat Mardongan Tubu
3.      Elek Marboru
Maksud dan tujuan dari aturan ini di berlakukan agar jangan terjadi simpang siur struktur kedudukan antara sesama orang batak dalam adat.
Di dalam adat Batak hubungan kekerabatan yang tidak boleh saling menikahi antaralain adalah :
4.      Saudara Kandung, yaitu Anak laki-laki dan anak perempuan dari satu ibu dan Bapak tidak boleh saling menikah.
5.      Anak laki-laki dan anak perempuan keturunan saudara kandung laki-laki dari orang tua laki-laki tidak boleh saling menikahi.
6.      Laki-laki dan perempuan satu marga tidak boleh saling menikah walaupun bukan saudara kandung laki-laki dari orang tua laki-laki.
7.      Laki-laki dan perempuan dalam satu rumpun marga, misalnya walaupun mereka berbeda marga tapi dalam satu rumpun marga contohnya, Sihaloho dengan Situngkir dll, karena dari satu rumpun Silalahi Sabungan tidak bisa saling menikah.
8.      Anak laki-laki dan perempuan keturunan saudara perempuan dari orang tua perempuan tidak boleh saling menikahi (Keturunan dari Inang uda atau Inang tua marpariban).
9.      Anak laki-laki dan perempuan yang marganya marpadan dengan satu marga, maksud marpadan adalah ikatan satu marga dengan marga lain menjadi ikatan saudara yang di lakukan oleh leluhur dahulu.
10.  Anak laki-laki dari orang tua laki-laki tidak boleh mengawini anak perempuan dari keturunan saudara perempuannya (Anak laki-laki tidak boleh menikahi anak perempuan Namboru kandung), sebaliknya anak laki-laki dari saudara bapak perempuan boleh menikahi anak perempuan saudara laki-lakinya (Anak namboru laki-laki boleh menikahi anak tulangnya yang di sebut Pariban)
11.  Anak laki-laki tidak boleh mengambil atau menikahi anak perempuan dari keturunan tulangnya oarang tua perempuan yang disebut tulang rorobot. (Dalam hal ini bukan berarti tidak boleh menikahi perempuan dari marga yang sama dengan marga tulang rorobot) dikenal dalam bahasa batak Pariban an so boi diolihon.
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya.
Bila ada yang menikah dengan satu marga, dia sudah melanggar adat. Dan akan dapat sanksi dari kepala adat yg bersangkutan. Bila sudah terjadi, akan terjadi suatu musibah di dalam hidupnya akibat melanggar peraturan adat batak tersebut.
Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (alias membeli marga). Dalam hal membeli marga, seseorang tersebut membuat acara untuk membeli marga, mengundang ketua adat dan raja-raja adat.

1)      Sistem Kekerabatan (Partuturan)

Sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, termasuk hal yang sangat penting dan berperan banyak dalam menuntun perilaku hidupnya sehari-hari. Dengan ikatan aturan system kekerabatan itu masyarakat batak dapat hidup dalam bimbingan sopan santun, berdedikasi, bertanggungjawab. Dengan tutur sapa kekerabatan, masyarakat batak bias berbicara lebih sopan, lebih beradab dan berbudaya. Oleh karena itu, dalam masyarakat batak toba, dalam bertutur kata dan memanggil sapaan seseorang tidaklah sembarangan. Karena sudah ada sapaan panggilan terhadap orang lain maupun kerabat keluarga, diantaranya 

A.    Tutur-Sapa Awal 

Saat kita bertemu dengan seseorang yang belum kita kenal dengan baikl, maka unutk berkomunikasi dengan beliau, hendaklah digunakan Tutur sapa awal sebagai berikut ;
1.      Ompung,bagi seseorang Orangtua yang memang sudah tua; orang tua dari orangtua kita. Dalam artinya bahasa Indonesia ialah Kakek atau Nenek.
2.      Amang, bagi seorang bapak ( Ayah )
3.      Inang, bagi seorang Ibu
4.      Tulang, kepada Orangtua yang satu marga dengan Ibu kita
5.      Bapa Uda, kepada orangtua yang satu marga dengan Ayah kita
6.      Lae, bagi sesame laki-laki yang sebaya kita (khusus buat laki-laki)
7.      Ito, seseorang perempuan yang sebaya dengan kita
8.      Ampara, bagi sesama laki-laki yang satu marga dengan kita
9.      Eda, bagi sesama wanita yang umurnya sebaya

B.     Tutur-Sapa yang paling akrab

  1. NAMBORU
Kakak atau adik perempuan dari Ayah kita. Baik sebelum beliau menikah maupun sesudahnya. Namboru merupakan seorang teman yang paling sesuai. Seorang remaja lelaki, akan sangat berceloteh kepada berbagai macam hal kepada Namborunya. Bicara seenaknya saja, dan tidak ada rasa sungkan, dan tidak akan dihantui oleh rasa marah.
  1. INANG BAJU
Adik (masih belum menikah) dari Ibu kita. Tempat mencurahkan perasaan. Biasanya wanita lebih suka cerita kepada Inang baju daripada Namborunya.
  1. PARIBAN ( BORU NI TULANG)
Semua anak gadis dari Tulang kita. Kita pasti cepat akrab. Zaman dahulu, umumnya boru ni tulang dianggap sebagai bakal istri.

C.    Tutur-Sapa yang berpantangan (Parsubangon)

Dalam bahasa batak, subang berarti pantang. Dan sesuai aturan baku masyarakat batak toba, terdapat 5 macam tutur sapa yang ditetapkan sebagai hal yang harus dijaga dengan hati-hati dan penuh rasa hormat.
Bagi sebahagian masyarakat batak toba yang sudah maju sekarang, bias saja mengganggap aturan ini sebagai hal yang menggelikan. Akan tetapi, aturan baku ini telah membina hidup masyarakat batak toba dengan etika keluarga yang baik, berguna untuk menumbuhkan rasa segan dan rasa saling hormat-menghormati. 
Inilah tutur sapa yang berpantangan tersebut
  1. Namarbao
yaitu antara kita sendiri dengan hula-hula kita (yang perempuan). Kita harus menyapa beliau dengan kata INANG dengan penuh rasa hormat dan segan. Lebih segan dan hormat daripada memanggil inang kepada Ibu yang lain. Bahkan harus ditambahi dengan “halaki nang bao, atau halak ina ta”. Tujuanny auntuk menunjukkan rasa hormat kepada beliau.  Tidak boleh berbicara berduaan, atau berdekatan, apalagi sampai senggolan. Itu amat dipantangkan. Tidak perlu menyalam langsung tangan beliau, cukup menundukkan kepaladan  berucap : “horas  ma ninna hamu inang,”.  Tidak boleh duduk berhadapan seberang meja. 
  1. Namaranggi boru
yaitu terhadap Isteri dari adik kita Laki-laki. Sama dengan NAMARBAO, tidak boleh disebut namanya, jangan senggolan, jangan duduk berdekatan atau langsung berhadap-hadapan. Namun Isteri kita sering menjadi dekat dengan beliau.


  1. Namarhahadoli
Tutur sapa yang digunakan isteri adik laki-laki kita sendiri kepada kita. Sama dengan nomor 2.
  1. Marparumaen
Isteri   dari   putera   kita.   Tidak   boleh   langsung   ditegur, dipanggil atau disuruh. Karena bila seseorang sudah menjadi mantu, itu berarti harkat kemanusiaan kita sedang menuju sempurna. Sebentar lagi kita sudah punya cucu, satu kebanggaan yang sangat diidamba. Pantangan hampir sama dengan yang diatas. Tidak boleh senggolan, berbicaralah hendaklah segan, tidak sembarangan ataupun bercanda. Pada zaman dahulu cara penyampaian pesan nya begini “ santabbi tiang, haru patu hamu ma sipanganonta di meja I, nunga male iba “ artinya Permisi tiang, kamu buatkanlah nasi di meja itu, saya sudah lapar”. Jadi tianglah yang menjadi alat untuk menyampaikan pesan tersebut agar tidak berkomunikasi langsung.
  1. Namarsimatua
Tutur sapa dari si mantu kepada mertua. Tetap saja tidak boleh langsung bicara. Karena itu sang mantu hendaknya segera sigap melaksanakan tugasnya di rumah. Jangan sampai ada perintah dari mertua

2)      Sastra Kebijaksanaan Batak

A.    Berkaitan dengan Penderitaan Manusia

·         Nunga bosur soala ni mangan
·         Mahap soala ni minum
·         Bosur ala ni sitaonon
·         Mahap ala ni sidangolon
Arti harafiah dan leksikal : Sudah kenyang bukan karena makan Puas bukan karena minum Kenyang karena penderitaan Puas karena kesedihan/dukacita 
Sedangkan arti dan makna terdalam : Syair pantun ini mengungkapkan keluhan manusia atas penderitaan yang berkepanjangan yang menyebabkan keputusasaan. Penderitaan sering dianggap sebagai takdir. Takdir ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Allah orang Batak Toba) harus diterima dengan pasrah saja. Ada orang yang menyerah saja pada penderitaan dan menjadi apatis. Namun untuk sebagian orang takdir dilihat sebagai sarana pendidikan, yakni mendidik untuk tabah menghadapi segala cobaan hidup, menyingkirkan sifat sombong dan sekaligus menanamkan rasa patuh kepada orang tua, raja, hula-hula (kerabat keluarga), nenek moyang dan Debata Mulajadi Na Bolon.
Jenis pantun ini ialah “pantun andung” (pantun tangisan) pada penderitaan. Pantun ini diungkapkan pada waktu mengalami penderitaan (kesedihan dan duka cita), misalnya pada saat kematian orang tua, sahabat dan famili.

B.     Berkaitan dengan Nasihat dan Larangan Melakukan Perzinahan : 

·         Silaklak ni dandorung
·         Tu dangka ni sila-sila
·         Ndang iba jumonokjonok
·         Tu na so oroan niba
Arti harafiah dan leksikal : 
·         Kulit kayu dandorung
·         Ke dahan kayu silasila
·         Dilarang mendekati perempuan/wanita
·         Jika tidak istri sendiri
Arti terdalam : Dua baris terakhir dari syair pantun di atas menasehatkan kepada semua pria agar tidak mendekati seorang perempuan/wanita yang tidak istrinya. Nasehat ini merupakan usaha untuk menghindari tindakan perzinahan dan sekaligus merupakan larangan untuk tidak melakukan perzinahan. Seorang laki-laki yang mendekati perempuan yang bukan istrinya dan melakukan hubungan seksual disebut berzinah. Orang yang melakukan perzinahan dihukum dan terkutuk hidupnya. 
Jenis Sastra : Pepatah nasehat ini digolongkan ke dalam pantun nasehat atau pepatah nasehat (Batak: umpama etika hahormaton, adat dohot uhum). Pepatah ini digunakan pada kesempatan pesta adat, pesta perkawinan, dan pada hari-hari biasa serta pada kesempatan yang biasa juga. Juga sering diungkapkan pada waktu diadakan musyawarah kampung karena adanya tindakan pelanggaran perkawinan. Biasanya orang yang berzinah dihukum secara adat.
C.    Berkaitan dengan Etika Kesopanan (sopan santun) : 
” Pantun hangoluan, tois hamatean!”
Arti harafiah dan leksikal : Sikap hormat dan ramah mendatangkan kehidupan dankebaikan; sikap ceroboh atau sombong (tidak tahu adat) membawa kematian/malapetaka.
Arti terdalam : sopan santun, sikap hormat dan ramah tamah akan membuahkan hidup yang mulia dan bahagia (baik), sedangkan sikap ceroboh dan sombong (angkuh) akan menyebabkan kematian, penderitaan, malapetaka dalam hidup seseorang. Pada umumnya orang yang sopan memiliki banyak teman yang setia, ke mana dia pergi selalu mendapat perlindungan dan sambutan dari orang yang dijumpainya. Sedangkan orang yang ceroboh dan sombong sulit mendapat teman bahkan sering mendapat lawan dan musuhnya banyak. Yang seharusnya kawan pun menjadi lawan bagi orang yang seperti ini.
Jenisnya dan digunakan pada kesempatan : Sastra ini tergolong dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat. Pepatah etika sopan santun. Biasanya digunakan pada kesempatan memberangkatkan anak, famili atau sahabat yang hendak pergi ke perantauan. Dan pepatah ini digunakan sebagai nasehat orang-orang tua kepada anakanaknya.
D.    Berkaitan dengan “Janji atau nazar” yang harus ditepati:
·         Pat ni satua
·         Tu pat ni lote
·         Mago ma panguba
·         Mamora na niose 
Arti harafiah dan leksikal : 
·         Kaki tikus
·         Ke kaki burung puyuh
·         Lenyap/hilanglah si pengingkar janji
·         Dan kayalah yang diingkari
Arti terdalam : seorang yang mengingkari janji, apalagi sering-sering mengingkari akan hilang lenyap (mati) karena tindakannya dan orang yang diingkari akan menjadi kaya. Orang yang mengingkari janji dikutuk dan ditolak oleh masyarakat umum, sedangkan orang yag diingkari mendapat penghiburan dan pengharapan yang baik dari sang pemberi rahmat. Dia akan menjadi kaya dalam hidupnya. Padan adalah janji atau perjanjian, ikrar yang disepakati oleh orang yang berjanji. Akibat dari pelanggaran padan lebih daripada hukum badan, karena ganjaran atas pelanggaran padan (janji) tidak hanya ditanggung oleh sipelanggar janji (padan), tetapi juga sampai pada generasi-keturunan berikutnya. Ada unsur kepercayaan kutukan di dalamnya. Padan bersifat pribadi dan rahasia, diucapkan tanpa saksi atau dengan saksi. Jika padan diucapkan pada waktu malam maka saksinya ialah bulan maka disebut padan marbulan. Dan jika diucapkan pada siang hari saksinya ialah hari dan matahari disebut padan marwari. Nilai menepati janji cukup kuat pada orang Toba. Ini mungkin ada kaitannya dengan budaya padan yang menyatakan perbuatan ingkar janji merupakan yang terkutuk.
Jenis pantun dan digunakan pada kesempatan : pantun ini tergolong ke dalam pepatah (Batak : umpama) nasehat kepada orang yang berjanji (Batak: marpadan). Pepatah ini digunakan pada kesempatan ketika menasehati orang yang sering menginkari janji. Pada upacara adat terjadi pembicaraan dan berkaitan dengan pengadaan perjanjian. Nasehat ini diberikan dan disampaikan oleh orang tua dari kalangan keluarga. Ini merupakan unsur sosialisasi untuk mendidik orang Toba menjadi orang yang konsekuen dalam bertindak.

E.     Berkaitan dengan Kehidupan Sosial Masyarakat :

·         Ansimun sada holbung
·         Pege sangkarimpang
·         Manimbuk rap tu toru
·         Mangangkat rap tu ginjang


Arti harafiah dan leksikal :
·         Mentimun satu kumpulan
·         Jahe satu rumpun batang
·         Serentak melompat ke bawah
·         Serentak melompat ke atas
Arti terdalam : Umpama ini digunakan untuk kerabat sedarah dan dari satu keluarga (Batak: dongan sabutuha). Pepatah ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung duka dan derita, suka dan kegembiraan. Sejajar dengan ungkapan:”ringan sama dijingjing, berat sama dipikul”. Dari ungkapan ini terbersit arti mendalam dari kekerabatan yang dianut oleh orang Batak Toba. Kekerabatan mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang dipupuk atas dasar hubungan darah.Kerukunan diusahakan atas dasar unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Hubungan antar manusia dalam kehidupan orang BatakToba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Hubungan ini telah disosialisasikan kepada generasi dari generasi ke generasi berikutnya. Hubungan ini telah ditanamkan kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, misalnya dengan orang tua, sanak saudara dan kepada famili dekat. Pengertian marga dijelaskan dengan baik sesuai dengan kode etik Dalihan Na Tolu. Tata cara kehidupan, cara bicara, adat-istiadat diatur sesuai dengan kekerabatan atas dasar Dalihan Na Tolu itu. 
Jenis sastra : tergolong dalam kelompok pepatah (Batak: umpama). Dipakai pada kesempatan pesta pernikahan, pesta adat dan pada waktu kemalangan. Pepatah ini digunakan sebagai nasehat untuk pihak yang berpesta dan yang sedang kemalangan. 



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Di dalam kehidupan bermasyarakat Suku Batak diatur oleh norma-norma sosial. Norma-norma sosial itu diantaranya norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan.
Dalam norma keagamaan Suku Batak mempunyai suatu konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala.
Dalam norma kebiasaan di suku Batak terdapat kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan yaitu Martutuaek (kelahiran), Pasahat Tondi (kematian), Mardebata (peribadatan atas niat seseorang), Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit), dan Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan).

Dalam norma kesopanan di Suku Batak terdapat sistem kekerabatan (partuturan) dibagi menjadi 3, yaitu tutur-sapa awal, tutur-sapa yang paling akrab, tutur-sapa yang berpantangan (parsubangon). Dan sastra kebijaksanaan batak  seperti berkaitan dengan penderitaan manusia, nasihat dan larangan melakukan perzinahan, etika kesopanan (sopan santun), dan janji atau nazar yang harus ditepati, serta kehidupan sosial masyarakat

B.     Saran
Dengan membuat makalah tentang norma sosial di lingkungan masyarakat Suku Batak ini diharapkan dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai norma-norma di salah satu suku Indonesia, terutama suku Batak. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.


DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

E.   Latar Belakang
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar. Norma tersebut berfungsi untuk mengatur tingkah laku masyarakat supaya di dalam kehidupan bermasyarakat tercipta keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Untuk itu masyarakat mau tidak mau harus mematuhi norma-norma yang berlaku di suatu daerah, misalnya Suku Batak. Suku Batak mempunyai norma-norma sosial seperti norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan. Norma-norma tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat Suku Batak supaya dalam kehidupan bermasyarakat tercipta keharmonisan dan tentu terhindar dari sanksi-sanksi yang telah ditentukan. Norma-norma sosial di lingkungan masyarakat Suku Batak akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan materi pada makalah ini.



F.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, kami akan membahas norma sosial di masyarakat suku batak diantaranya:
4.      Apa saja Norma Keagamaan di Suku Batak?
5.      Apa saja Norma Kebiasaan di Suku Batak?
6.      Apa saja Norma Kesopanan di Suku Batak?

G.  Tujuan
Dari rumusan masalah diatas kami mempunyai tujuan:
4.      Untuk mengetahui Norma Keagamaan di Suku Batak.
5.      Untuk mengetahui Norma Kebiasaan di Suku Batak.
6.      Untuk mengetahui Norma Kesopanan di Suku Batak.

H.  Manfaat Masalah
Manfaatnya adalah sebagai informasi bagi pembaca mengenai norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat pada Suku Batak.


BAB II
PEMBAHASAN

D.    Norma Keagamaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21).
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu
D.    Mulajadi Nabolon
4.        Siapa mulajadi nabolon bagi orang batak toba
Asal-usul dan ati nama Masyarakat Batak Toba menamai Allahnya (The High God) dengan Mulajadi Nabolon. Ada beberapa variasi nama yang dialamatkan kepada Allah Tinggi Orang Batak tersebut yakni: Ompu Tuan Mulajadi Nabolon, Debata Mulajadi Nabolon, Mulajadi Nabolon, Ompu Silaon Nabolon, Tuan Bubi Nabolon, dan Raja Minangkabau. Dari beberapa variasi nama itu, nama Mulajadi Nabolon merupakan nama yang paling umum dan sering digunakan dalam literatur Batak Toba.
Arti Mulajadi Nabolon sendiri diartikan sebagai Pemula Agung Genesis (menjadi alasan mengapa tulisan ini mau tidak mau menghubungkan Mulajadi Nabolon dengan penciptaan, sebagaimana disebut dalam Pengantar). Mulajadi merupakan komposisi dari 3 kata: mula, jadi, dan bolon. Mula berarti awal atau permulaan; jadi berarti menjadi (dalam bentuk aktif intransitif, manjadi). Bolon berarti besar, agung. Nabolon adalah unsur gelar yang merupakan paduan dari 2 kata: na (yang) dan bolon (besar, agung). Karena merupakan unsur nama keduanya dipadukan. Kodding mengartikan Mulajadi Nabolon dengan “der groβe Anfang des Werdens oder der seinen Anfang in sich selbst hat.” Oleh Edwin M. Loeb diterjemahkan dengan “Pemula Agung segala yang ada atau ‘Dia yang memiliki awal dalam dirinya sendiri.’” Ph. L. Tobing, mengikuti Warneck, menyebutnya sebagai Sang Asal Kejadian (The Origin of Genesis). Sementara Anicetus B. Sinaga menerjemahkannya dengan Sang Pemula Agung Genesis.
Sebelumnya, dalam budaya Batak Toba, perlu dipahami perbedaan arti: mula dan bona. Memang, kedua-duanya menunjuk pada ide/paham permulaan. Bona (marbona) bisa dibandingkan dengan batang atau dasar dari sebuah pohon. Bona menyatakan asal-usul (origin) yang bentuk aktif transitifnya adalah ‘marbona.’ Kata ini tidak pernah dihubungkan dengan nama Allah Tinggi. Sementara, mula berarti awal. Memaknai nuansa kata ini, maka Mulajadi Nabolon diartikan sebagai ‘Pemula dari Genesis’. Dari analisis ini kita sampai pada kesimpulan: a. Ciptaan itu selalu mulai dengan waktu berlawanan dengan awal yang abadi dari Allah Tinggi, b. Allah Tinggi adalah Pemula tidak hanya sebagai “awal.” Dia dipahami sebagai penyebab kejadian yang dengan aktif memulai penciptaan; ‘Awal Agung Genesis’ menjadi ‘Pemula Agung Genesis.’
Orang Batak Toba memakai terminologi langit untuk menyebut surga. Diyakini bahwa surga terdiri dari 7 lapis/tingkat (langit sipitu lampis). Mulajadi Nabolon tinggal di surga paling tinggi, pada langit ketujuh. Keyakinan ini tampak dalam kata-kata doa datu Orang Batak Toba: Daompung Debata natolu, na tolu suhu na tolu harajaon sian langit na pitu tindi, sian ombun na pitu lampis, sahata saoloan Ho dohot Debata mulamula, Debata Mulajadi, na pande manuturi, na malo mangajari.
5.      Mulajadi nabolon sebagai allah yang mengatasi waktu
Mulajadi Nabolon adalah Awal yang abadi “Adong ma nasaingan, nasaingan ni narobi, namargoar Ompunta Tuan Bubi na Bolon i, ima Debata na sasada i.” ‘Pada awal mula’ menunjukkan mula yang abadi, Mulajadi Nabolon. Tampubolon membuat rumusan yang menegasikan temporalitas Allah Tinggi: ‘Dia tidak mempunyai awal, datang dari yang tak berawal, yang tidak berawal dan berakhir.’ (Tampubolon, 1964:3).
Immoralitas Mulajadi Nabolon Ungkapan Toba menyebut Mulajadi Nabolon sebagai na so ra mate, na so ra matua (…..dia tidak mati atau bertambah tua…). Pernyataan ini menegasikan pengalaman human manusia yang bertambah tua dan mati. M. Loeb menyimpulkan bahwa Mulajadi Nabolon immortal dan Mahakuasa. Kekekalan sebagai bagian dari transendensinya. Kekekalan Allah menjadi komponen transenden karena dua hal ini:
Ø Mulajadi Nabolon memiliki keberadaan, hidup aktual, dan sempurna dalam dirinya sendiri berbeda dari dan tak sama dengan ciptaan.
Ø Penjadian ‘dunia fenomenal’ dapat diperkecil pada aktivitas penciptaan Allah Tinggi.
6.        Mulajadi nabolon disapa sebagai ompu(ng)
Kedua kata Ompu dan Ompung mempunyai arti yang identik. Kata Ompung biasa dipakai sebagai bentuk vokatif/sapaan. Dalam budaya Batak Toba, gelar Ompu menunjuk pada setiap orang dari generasi satu kakek atau mereka yang lebih tua. Sapaan akan gelar itu menandakan kuasa (power), kehormatan (dignity), dan kekudusan/mulia (holiness).
Warneck menyebut Allah Tinggi dengan Ompu Tuhan Mulajadi Nabolon. Sementara, W.A. Braasem menyebut Ompunta Debata Nabolon dan Ompunta Tuan Bubi Nabolon. Dalam konteks religius, Ompu ditujukan untuk hal yang dianggap kudus. Para dewa dan hal-hal supernatural termasuk Allah Tinggi disebut Ompung. Gelar Ompung adalah gelar terluhur dan tertinggi. Keluhuran dan kemuliaan Mulajadi Nabolon itu tampak dalam ungkapan: “Ho, ale Ompung, Mulajadi Nabolon, na hundul di tatuan, di ginjang ni ginjangan, di langit ni langitan.”


E.     Debata Asi-asi
Debata Asi-asi ( Manuk-Manuk Hulambu jati atau Raja Pinang Habo ) adalah mahluk pertama yang diciptakan oleh Debata Mulajadi Nabolon, berparuh besi berkuku gelang yang berkilauan. Mengenai bentuknya, seperti kupu-kupu yang sangat besar dan mempunyai telur seperti periuk yang sangat besar, wajahnya seperti sarung bintang Rumariri. Kemudian kepada Debata Asi-asi, Mulajadi Nabolon pernah bersabda bahwa Debata Asi-asi ditakdirkan hanya bisa menerima segala kata-kata dari manusia. Memberkati manusia supaya selalu bergondang. Bila yang diinginkan gondang Debata Guru maka baju yang di gunakan harus berwarna hitam, Jika yang diinginkan gondang Debata Sori baju yang digunakan harus berwarna putih dan jika yang diinginkan gondang Debata Bulan maka baju yang digunakan harus berwarna merah. Biasanya permintaan atau ritual tersebut diatas dilaksanakan satu kali dalam setahun. Namun bukan dalam hal ini saja setiap manusia selalu membutuhkannya, tetapi dalam segala hal yang diperlukan. Dan apabila suatu hari nanti ada manusia yang bungkuk, yang buta, yang tuli, yang satu tangan dan yang satu kaki, maka mereka adalah golongan dari orang-orang yang menghinanya, tetapi apabila ada anak satu-satunya yang bersedih hati, manusia yang banyak keturunan, raja dan panglima maka mereka adalah orang-orang yang selalu bersyukur dan memanggilnya, sebab apa dan bagaimanapun manusia adalah titisannya.

F.      Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi.
Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10).
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilainilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga yang dia miliki.
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
E.     Norma Kebiasaan
6.      Martutuaek (kelahiran)
4)      Upacara menjelang kelahiran
Manusia berada di kandungan selama sembilan namun menurut keyakinan suku batak pada zaman dahulu apalagi khususnya dengan ugamo malim, terjadinya manusia menjalani rentan waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu hanya sembuilan bulan, dan munurut orang batak selama tiga bulan lagi berada di dalam kandungan ayahnya. Sebab jika tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak mengandung.
Keyakinan suku batak terhadap kodrat kandungan pada zaman dahulu yaitu :
Bulan 1 : benih tiga bulan dalam kandungan ayah. Benih kejadian ada pada ibu. Roh dan Rohani bercampur dengan roh jasmani ditambah kodrat Mulajadi berdiam di bumi suci rahim ibu.
Bulan 2 : telah bertambah Debata Natolu di bumi suci dimana mendapat getaran, dan jika sudah ketemu maka akan terbentuk, hal ini terjadi sampai bulan ke empat.
Bulan 5 : pada bulan kelima, terjadilah proses terbentuknya otak manusia dalam bumi suci.
Bulan 6: prosesbulan keenam adalah proses terjadinya urat manusia dan sudah mulai bergerak.
Bulan 7: pada bulan ketujuh adalah proses terjadinya tulang.
Bulan 8: pada bulan kedelapan bayi sudah hamper rampung dan sudah mulai bolak-balik seta mulai terjadinya rambut.
Bulan 9:  
proses pemisahan air ketuban
proses pemisahan bungkus
proses pemisahan tali-tali
proses pemisahan darah pengiring maut dan tinggal menunggu hari lahirnya.
Setelah sembilan bulan dalam kandungan maka bayi tersebut mulai berputar, selama tujuh hari. Tiba pada hari ketujuh setelah bayi tersebut berputar sebayak tujuh kali, maka pintu bumi pun terbuka dan bayi tersebut keluar dan kemudian menangis memulai hidup ke zaman ini.
Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan saumi istri jangan dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit batuk-batuk, dan cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala yang diinginkan sebaiknya harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si anak yang akan lahir di kemudian hari akan terkendala dalam mencari hidup”. Sebelum si ibu melahirkan, sebaiknya orang tua dari si ibu memberikan makanan adat batak berupa ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan agar si ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara .
Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil Sibaso (dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk melahirkan yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan kemudian dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu untuk ditelan. Daun ubi rambat dan daun bunga raya direbus beserta air dari pancuran disaring lalu diminumkan kepada si ibu mengarah ke bawah.
5)      Upacara Saat Terjadi Kelahiran
Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang akan lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara demonstrative walaupun kelahiean itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu dilakukan di depan rumahnya dengan menuimbulkan suaa keras dan jendela rumah pun dibuka lebar-lebar dan asap pun membubung dari perapian dapur. Inilah yang menjadi tanda bahwa ada terjadi kelahiran, sehingga warga kampung merasa terpanggil untuk melihat kebahagiaan tersebut.
Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu, lalu sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman ari-ari bayi pada orang batak biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama hidup hanya satu kali kita bisa lihat wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku batak meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau saudara dari anak yang baru lahir dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari itu harus dijaga dengan baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok kecil yang diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut, dan tujuh lembar daun sirih.
Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan mengunyahnya dan kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan dalam saluran pencernaan makanan yang pertama yang disebut Tilan (kotoran pertama), bahkan siduku memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam, bersama Soit (sebuah anyaman kalu7ng yang terdapat dari sebuah kayu) dan hurungan Tondi (buah kayu yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut terus menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk memotong pusar tadi, yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.  
6)      Upacara setelah kelahiran
œ Mangirdak :dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan dalam memberikan semangat.
œ Pemberian Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.
œ Mengharoani: sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.
œ Martutu Aek: pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja . Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.
œ Mengallang Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan memotong ayam dan memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau ”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah melahirkan tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah. Makna spiritualitas yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap warga yang sekampung dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.
œ Selain jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit atau Marambit (harafiahnya berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang diadakan keluarga untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi). Pada kesempatan inilah keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah yang disebut indahan arian (makan siang) kepada cucunya ataupun pemberian seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang dapat dibagi-bagikan semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.
œ Mebat atau Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka keluarga pun memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau melawat (mebat,mengebati) kepada ompungnya (terutama ompungbao) dan keluarga lain seperti tulang. Ketika melakukan kunjungan, keluarga ini membawa makanan (memotong seekor babi) kepada ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos parompa (ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen batak modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan sebab makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara emosional kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.
œ Paias Rere: ada kalanya suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung mertuanya dan melahirkan anak disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu, keluarga mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima kasih atas kesibukan mertua dalam mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen batak modern yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere ini harus dikritisi dan diberi makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi kita anak laki-laki dan perempuan sama saja. Inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Paias Rere.
œ Ulos Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao kepada cucunya. Pada zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekaranfg dalam prakteknya ulos parompa tinggal merupakan symbol kasih ompungbao sebab komunitas batak modern sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau ayunan untuk menggendong bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama di kota-kota untuk mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi seolah-olah semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir. Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas yang terkandung dalam pemberian ulos parompa adalah menunjukkan kedekatan atau perhatian yang besar dari ompungbao kepada si anak yang lahir itu.
œ Dugu-dugu: sebuah makanan cirri khas batak pada saat melahirkan, yang diresep dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini bertujuan untuk mengembalikan peredaran urat bagi si ibu yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor bagi ibu yang melahirkan, menambah dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus memberikan kekuatan melalui asi kepada anknya.


Dasar Hukum Martutuaek
1)      Setelah bayi yang lahir genap erumur satu bulan, barulah boleh ditabalkan namanya dalam suatu upacara yang ditentukan waktunya.
2)      Ibadat ini dilaksanakan dengan persembahan dupa dan pangurason yang berisi dua buah jeruk purut. Selain itu ada kain putih yang melambangkan kesucian.
3)      Tidak boleh dibawa bayi yang baru lahir itu ke mata air sebelum dilaksanakan upacara martutuaek.
4)      Apabila keadaan waktu yang membuat terpaksa anak itu dibawa bepergian dan kebetulan pula melewati mata air, maka pada waktu pemberian namanya, sia anak tidak perlu lagi dibawa ke mata air untuk memandikannya.
5)      Tidak ada alasan kemiskinan untuk tidak mentaati aturan agama Malim (martutuaek), telah tertulis dalam pustaha habonoron (sumber hukum)  yang berbunyi “nipisna mantet neangna, hapalna mantet dokna” artinya dilaksanakan sesuai kemampuan.
6)      Semua upacara agama yang merupakan aturan (ibadat dalam agama Malim) harus dipimpin oleh pemimpin ritual (ihutan atau wakilnya) kecuali upacara Mararisabtu.
7.      Pasahat Tondi (kematian)
Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan sangat khas. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal.
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati:
1.      Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu),
2.      Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar),
3.      Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon),
4.      Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan
5.      Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua).
Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi dari banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono,1984:24).
Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat Batak (terkhusus Batak Toba), karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk orang yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat meninggalnya memang dikarenakan proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang meninggal dalam status saur matua, hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/LUNAS. Dalam masyarakat Batak, hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang itu LUNAS, maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.
Masyarakat Batak biasanya mengadakan acara seperti acara pernikahan, dengan menampilkan alat musik berupa organ untuk bernyanyi, makan makan seperti menyembelih hewan, minum minuman tradisional seperti tuak. Alat musik organ digunakan di daerah perantauan umumnya, namun di daerah aslinya, Sumatera Utara, gondang sebagai alat musik khas Bataklah yang digunakan. Ini semata-mata karena alat musik gondag yang sulit ditemukan di daerah perantauan. Untuk peyembelihan hewan, juga ada kekhasannya. Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya simbol tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang meninggal dalam status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan disembelih oleh keluarga Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang meninggal terbilang sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang disembelih, maka anggapan orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih positif, yang berarti anak-anak yang ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan sana.
Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara, dsb.
Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki dari pihak isteri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka).
Jenazah yang telah dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di tengah-tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Di sebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan di sebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Di sinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas (orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa : juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara) (Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Namun bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Selepas ritus pembagian jambar juhut, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang meninggal saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor). Tor-tor adalah tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat musik tradisional khas Batak). Gondang sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak, terdiri dari seperangkat instrumen yakni : 4 ogung, 1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1 gondang, 1 sarune.
Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat). Ibadah bisa dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan ke dalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya), ibadah singkat dilaksanakan (berdoa), barulah jenazah yang sudah di dalam peti yang tertutup dikuburkan.
Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.
Ini adalah bagian dari ritual kematian adat Batak, khususnya Batak Toba. Memang unik, tetapi itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti prosesi ini sendiri. Kematian yang seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda tawa dan riuhnya pesta pakai musik, layaknya pesta pernikahan, hanya jika mendiang meninggal dalam status SAUR MATUA tadi. Ya, ini memang adatnya, kita tidak mungkin  menolak ataupun menentangnya. Tetapi saya bangga memiliki budaya seperti ini, penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di dunia ini.
Dasar Hukum Pasahat Tondi
a.       Tidak boleh menangisi bahkan meratapi orang yang sedang sakit sekarat serta orang yang sudah meninggal dunia. Hal itu akan berakibat terhambatnya ruhnya menghadap Debata.
b.      Tidak boleh makan di rumah keluarga si mayat selama jenazah itu belum dikuburkan.
c.       Terlebih dahulu tanah kuburan disucikan dan diberitahu kepada Nagapadohaniaji sebelum tanah itu digali.
d.      Jenazah harus dimandikan sampai bersih dengan beralaskan kain putih. Apabila sudah bersih, maka jenazah itu dibalut dengan kai putih dan baru kemudian dimasukkan ke dalam peti jenazah.
e.       Apabila sudah didoakan agar dihapuskan dosa-dosanya, jenazah disucikan kembali. Barulah kemudian peti jenazah itu boleh ditutup dan dibawa ke kuburan.
f.       Selama tujuh hari dan tujuh malam, rumah tempat persemayaman mayat harus isucikan.
·         Adab terhadap Jenazah
Jika yang meninggal anak kecil,hukumnya harus segera dikebumikan, tetapi jika yang meninggal itu orang dewasa, atau lansia maka boleh saja disemayamkan lebih lama selama tiga hari batas maksimalnya. Dikarenakan supaya kerabat yang dari jauh atau merantau atau yang sedang bepergian dapat melihat jenazah untuk yang terakhir kalinya.
8.     Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
Secara harfiah, mardebata bermakna “menyembah Debata” menurut istilah adalah, upacara penyembahan kepada Debata dengan perantaraan sesaji yang bersih yang diantarkan melalui bunyi-bunyian gendang selengkapnya (gondang sebangunan) atau gendang kecapi (gondang hasapi).[2][27]
Dasar Hukum Mardebata
3)      Barangsiapa yang lupa tentang patik patuan Raja Malim (Raja Nasiakbagi) harus ditegakkannya sebuah langgatan atau podium yang didalamnya berisikan sebuah sitompion. Bersamaan dengan itu harus dipergelarkan gondang sabangunan dan disediakan juga ayam jantan dan betina, kambing putih serta lembu stio-tio.
4)      Ada upacara mardebata yang sifatnya sebagai ungkapan rasa syukur atas berkat dari Debata.
9.      Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit)
Arti mangan na paet dalam bahasa Batak adalah “memakan yang pahit” , sedangkan meruut istilah adalah suatu aturan (ibadat) yang wajib diamalkan oleh setiap warga parmalim pada setiap akhir tahun.
Dasar Hukum Mangan Na Paet
6)       Apabila sudah tiba diujung tahun, tepatnya pada hari 29 dan 12 menurut kalender Batak diharuskan warga parmalim untuk berkumpul di Bale Pasogit Partonggoan  (di pusat) atau di Bale Parsantian (di Cabang0 untuk beribadat dengan tujuan “menebus dosa”
7)       Harus diyakini bahwa memang pahit rasanya akibat dari dosa yang sudah dilakukan mulai dari pangkal tahun hingga ujung tahun.
8)       Disebabkan penderitaan yang dialami dan juga dosa yang diperbuat sehingga yang pahit itu suatu bukti kesungguhan hati (menebus dosa dan bertaubat) dalam ibadat mangan na paet.
9)       Tidak boleh memakan segala yang dapat mengenyangkan perut dan mengerjakan “keinginan diri” termasuk hasrat seksual selama menjalankan ibadat.
10)   5). Orang yang sudah menebus dosa meskipun tidak disaksikan oleh orang lain dan menegakkan amal didalam kesucian tuhan, yakinlah pada hari esok ia akan mendapatkan kehidupan tondi dan sedikitpun tak merasa takut akan cobaan dan ujian yang akan datang.
10.  Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan)
4)      Apabila hendak kawin dengan anak parmalim, maka dari pihak anak perempuan harus memberikan dua belas rupiah, sedangkan dari pihak anak laki-laki sebanyak enam rupiah sebagai wujud gambaran adat yang keduanya diletakkan diatas parbuesanti.
5)      Apabila hanya pengantin perempuan yang anggota parmalim, sedang pengantin laki-laki bukan berasal dari agama Malim sementara mereka berdua harus dinikahkan dengan tata cara agama Malim, maka untuk ini pengantin laki-laki harus lebih dulu masuk menjadi penganut agama Malim dengan memberikan persyaratan yaitu memberikan uang dua rupiah dan kain putih tujuh hasta yang diletakkan diatas parbuesanti.
6)      Apabila pengantin laki-laki saja yang hanya penganut agama Malim sedangkan pengantin perempuan berasal dari penganut agama lain, sementara tata cara perkawinan bersikeras dinikahkan menurut agama Malim, maka perempuan harus lebih dulu memberikan pengakuan lisan menjadi penganut agama Malim.

F.     Norma Kesopanan
Didalam budaya Batak yang turun temurun sampai saat ini dan selalu dilaksanakan adalah soal perjodohan, dimana banyak hubungan antara sesama orang batak yang semarga ataupun berlainan marga dan berlainan rumpun marga tidak boleh saling menikah, hal ini dilakukan karena peraturan adat yang masih berlaku.
Dalam Suku batak hal ini adalah peraturan, yang terkait erat dengan hukum dalihan na tolu yaitu
1.      Somba Marhula-hula
2.      Manat Mardongan Tubu
3.      Elek Marboru
Maksud dan tujuan dari aturan ini di berlakukan agar jangan terjadi simpang siur struktur kedudukan antara sesama orang batak dalam adat.
Di dalam adat Batak hubungan kekerabatan yang tidak boleh saling menikahi antaralain adalah :
4.      Saudara Kandung, yaitu Anak laki-laki dan anak perempuan dari satu ibu dan Bapak tidak boleh saling menikah.
5.      Anak laki-laki dan anak perempuan keturunan saudara kandung laki-laki dari orang tua laki-laki tidak boleh saling menikahi.
6.      Laki-laki dan perempuan satu marga tidak boleh saling menikah walaupun bukan saudara kandung laki-laki dari orang tua laki-laki.
7.      Laki-laki dan perempuan dalam satu rumpun marga, misalnya walaupun mereka berbeda marga tapi dalam satu rumpun marga contohnya, Sihaloho dengan Situngkir dll, karena dari satu rumpun Silalahi Sabungan tidak bisa saling menikah.
8.      Anak laki-laki dan perempuan keturunan saudara perempuan dari orang tua perempuan tidak boleh saling menikahi (Keturunan dari Inang uda atau Inang tua marpariban).
9.      Anak laki-laki dan perempuan yang marganya marpadan dengan satu marga, maksud marpadan adalah ikatan satu marga dengan marga lain menjadi ikatan saudara yang di lakukan oleh leluhur dahulu.
10.  Anak laki-laki dari orang tua laki-laki tidak boleh mengawini anak perempuan dari keturunan saudara perempuannya (Anak laki-laki tidak boleh menikahi anak perempuan Namboru kandung), sebaliknya anak laki-laki dari saudara bapak perempuan boleh menikahi anak perempuan saudara laki-lakinya (Anak namboru laki-laki boleh menikahi anak tulangnya yang di sebut Pariban)
11.  Anak laki-laki tidak boleh mengambil atau menikahi anak perempuan dari keturunan tulangnya oarang tua perempuan yang disebut tulang rorobot. (Dalam hal ini bukan berarti tidak boleh menikahi perempuan dari marga yang sama dengan marga tulang rorobot) dikenal dalam bahasa batak Pariban an so boi diolihon.
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya.
Bila ada yang menikah dengan satu marga, dia sudah melanggar adat. Dan akan dapat sanksi dari kepala adat yg bersangkutan. Bila sudah terjadi, akan terjadi suatu musibah di dalam hidupnya akibat melanggar peraturan adat batak tersebut.
Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (alias membeli marga). Dalam hal membeli marga, seseorang tersebut membuat acara untuk membeli marga, mengundang ketua adat dan raja-raja adat.

3)      Sistem Kekerabatan (Partuturan)

Sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, termasuk hal yang sangat penting dan berperan banyak dalam menuntun perilaku hidupnya sehari-hari. Dengan ikatan aturan system kekerabatan itu masyarakat batak dapat hidup dalam bimbingan sopan santun, berdedikasi, bertanggungjawab. Dengan tutur sapa kekerabatan, masyarakat batak bias berbicara lebih sopan, lebih beradab dan berbudaya. Oleh karena itu, dalam masyarakat batak toba, dalam bertutur kata dan memanggil sapaan seseorang tidaklah sembarangan. Karena sudah ada sapaan panggilan terhadap orang lain maupun kerabat keluarga, diantaranya 

D.    Tutur-Sapa Awal 

Saat kita bertemu dengan seseorang yang belum kita kenal dengan baikl, maka unutk berkomunikasi dengan beliau, hendaklah digunakan Tutur sapa awal sebagai berikut ;
10.  Ompung,bagi seseorang Orangtua yang memang sudah tua; orang tua dari orangtua kita. Dalam artinya bahasa Indonesia ialah Kakek atau Nenek.
11.  Amang, bagi seorang bapak ( Ayah )
12.  Inang, bagi seorang Ibu
13.  Tulang, kepada Orangtua yang satu marga dengan Ibu kita
14.  Bapa Uda, kepada orangtua yang satu marga dengan Ayah kita
15.  Lae, bagi sesame laki-laki yang sebaya kita (khusus buat laki-laki)
16.  Ito, seseorang perempuan yang sebaya dengan kita
17.  Ampara, bagi sesama laki-laki yang satu marga dengan kita
18.  Eda, bagi sesama wanita yang umurnya sebaya

E.     Tutur-Sapa yang paling akrab

  1. NAMBORU
Kakak atau adik perempuan dari Ayah kita. Baik sebelum beliau menikah maupun sesudahnya. Namboru merupakan seorang teman yang paling sesuai. Seorang remaja lelaki, akan sangat berceloteh kepada berbagai macam hal kepada Namborunya. Bicara seenaknya saja, dan tidak ada rasa sungkan, dan tidak akan dihantui oleh rasa marah.
  1. INANG BAJU
Adik (masih belum menikah) dari Ibu kita. Tempat mencurahkan perasaan. Biasanya wanita lebih suka cerita kepada Inang baju daripada Namborunya.
  1. PARIBAN ( BORU NI TULANG)
Semua anak gadis dari Tulang kita. Kita pasti cepat akrab. Zaman dahulu, umumnya boru ni tulang dianggap sebagai bakal istri.

F.     Tutur-Sapa yang berpantangan (Parsubangon)

Dalam bahasa batak, subang berarti pantang. Dan sesuai aturan baku masyarakat batak toba, terdapat 5 macam tutur sapa yang ditetapkan sebagai hal yang harus dijaga dengan hati-hati dan penuh rasa hormat.
Bagi sebahagian masyarakat batak toba yang sudah maju sekarang, bias saja mengganggap aturan ini sebagai hal yang menggelikan. Akan tetapi, aturan baku ini telah membina hidup masyarakat batak toba dengan etika keluarga yang baik, berguna untuk menumbuhkan rasa segan dan rasa saling hormat-menghormati. 
Inilah tutur sapa yang berpantangan tersebut
  1. Namarbao
yaitu antara kita sendiri dengan hula-hula kita (yang perempuan). Kita harus menyapa beliau dengan kata INANG dengan penuh rasa hormat dan segan. Lebih segan dan hormat daripada memanggil inang kepada Ibu yang lain. Bahkan harus ditambahi dengan “halaki nang bao, atau halak ina ta”. Tujuanny auntuk menunjukkan rasa hormat kepada beliau.  Tidak boleh berbicara berduaan, atau berdekatan, apalagi sampai senggolan. Itu amat dipantangkan. Tidak perlu menyalam langsung tangan beliau, cukup menundukkan kepaladan  berucap : “horas  ma ninna hamu inang,”.  Tidak boleh duduk berhadapan seberang meja. 
  1. Namaranggi boru
yaitu terhadap Isteri dari adik kita Laki-laki. Sama dengan NAMARBAO, tidak boleh disebut namanya, jangan senggolan, jangan duduk berdekatan atau langsung berhadap-hadapan. Namun Isteri kita sering menjadi dekat dengan beliau.


  1. Namarhahadoli
Tutur sapa yang digunakan isteri adik laki-laki kita sendiri kepada kita. Sama dengan nomor 2.
  1. Marparumaen
Isteri   dari   putera   kita.   Tidak   boleh   langsung   ditegur, dipanggil atau disuruh. Karena bila seseorang sudah menjadi mantu, itu berarti harkat kemanusiaan kita sedang menuju sempurna. Sebentar lagi kita sudah punya cucu, satu kebanggaan yang sangat diidamba. Pantangan hampir sama dengan yang diatas. Tidak boleh senggolan, berbicaralah hendaklah segan, tidak sembarangan ataupun bercanda. Pada zaman dahulu cara penyampaian pesan nya begini “ santabbi tiang, haru patu hamu ma sipanganonta di meja I, nunga male iba “ artinya Permisi tiang, kamu buatkanlah nasi di meja itu, saya sudah lapar”. Jadi tianglah yang menjadi alat untuk menyampaikan pesan tersebut agar tidak berkomunikasi langsung.
  1. Namarsimatua
Tutur sapa dari si mantu kepada mertua. Tetap saja tidak boleh langsung bicara. Karena itu sang mantu hendaknya segera sigap melaksanakan tugasnya di rumah. Jangan sampai ada perintah dari mertua

4)      Sastra Kebijaksanaan Batak

A.    Berkaitan dengan Penderitaan Manusia

·         Nunga bosur soala ni mangan
·         Mahap soala ni minum
·         Bosur ala ni sitaonon
·         Mahap ala ni sidangolon
Arti harafiah dan leksikal : Sudah kenyang bukan karena makan Puas bukan karena minum Kenyang karena penderitaan Puas karena kesedihan/dukacita 
Sedangkan arti dan makna terdalam : Syair pantun ini mengungkapkan keluhan manusia atas penderitaan yang berkepanjangan yang menyebabkan keputusasaan. Penderitaan sering dianggap sebagai takdir. Takdir ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Allah orang Batak Toba) harus diterima dengan pasrah saja. Ada orang yang menyerah saja pada penderitaan dan menjadi apatis. Namun untuk sebagian orang takdir dilihat sebagai sarana pendidikan, yakni mendidik untuk tabah menghadapi segala cobaan hidup, menyingkirkan sifat sombong dan sekaligus menanamkan rasa patuh kepada orang tua, raja, hula-hula (kerabat keluarga), nenek moyang dan Debata Mulajadi Na Bolon.
Jenis pantun ini ialah “pantun andung” (pantun tangisan) pada penderitaan. Pantun ini diungkapkan pada waktu mengalami penderitaan (kesedihan dan duka cita), misalnya pada saat kematian orang tua, sahabat dan famili.

B.     Berkaitan dengan Nasihat dan Larangan Melakukan Perzinahan : 

·         Silaklak ni dandorung
·         Tu dangka ni sila-sila
·         Ndang iba jumonokjonok
·         Tu na so oroan niba
Arti harafiah dan leksikal : 
·         Kulit kayu dandorung
·         Ke dahan kayu silasila
·         Dilarang mendekati perempuan/wanita
·         Jika tidak istri sendiri
Arti terdalam : Dua baris terakhir dari syair pantun di atas menasehatkan kepada semua pria agar tidak mendekati seorang perempuan/wanita yang tidak istrinya. Nasehat ini merupakan usaha untuk menghindari tindakan perzinahan dan sekaligus merupakan larangan untuk tidak melakukan perzinahan. Seorang laki-laki yang mendekati perempuan yang bukan istrinya dan melakukan hubungan seksual disebut berzinah. Orang yang melakukan perzinahan dihukum dan terkutuk hidupnya. 
Jenis Sastra : Pepatah nasehat ini digolongkan ke dalam pantun nasehat atau pepatah nasehat (Batak: umpama etika hahormaton, adat dohot uhum). Pepatah ini digunakan pada kesempatan pesta adat, pesta perkawinan, dan pada hari-hari biasa serta pada kesempatan yang biasa juga. Juga sering diungkapkan pada waktu diadakan musyawarah kampung karena adanya tindakan pelanggaran perkawinan. Biasanya orang yang berzinah dihukum secara adat.
C.    Berkaitan dengan Etika Kesopanan (sopan santun) : 
” Pantun hangoluan, tois hamatean!”
Arti harafiah dan leksikal : Sikap hormat dan ramah mendatangkan kehidupan dankebaikan; sikap ceroboh atau sombong (tidak tahu adat) membawa kematian/malapetaka.
Arti terdalam : sopan santun, sikap hormat dan ramah tamah akan membuahkan hidup yang mulia dan bahagia (baik), sedangkan sikap ceroboh dan sombong (angkuh) akan menyebabkan kematian, penderitaan, malapetaka dalam hidup seseorang. Pada umumnya orang yang sopan memiliki banyak teman yang setia, ke mana dia pergi selalu mendapat perlindungan dan sambutan dari orang yang dijumpainya. Sedangkan orang yang ceroboh dan sombong sulit mendapat teman bahkan sering mendapat lawan dan musuhnya banyak. Yang seharusnya kawan pun menjadi lawan bagi orang yang seperti ini.
Jenisnya dan digunakan pada kesempatan : Sastra ini tergolong dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat. Pepatah etika sopan santun. Biasanya digunakan pada kesempatan memberangkatkan anak, famili atau sahabat yang hendak pergi ke perantauan. Dan pepatah ini digunakan sebagai nasehat orang-orang tua kepada anakanaknya.
D.    Berkaitan dengan “Janji atau nazar” yang harus ditepati:
·         Pat ni satua
·         Tu pat ni lote
·         Mago ma panguba
·         Mamora na niose 
Arti harafiah dan leksikal : 
·         Kaki tikus
·         Ke kaki burung puyuh
·         Lenyap/hilanglah si pengingkar janji
·         Dan kayalah yang diingkari
Arti terdalam : seorang yang mengingkari janji, apalagi sering-sering mengingkari akan hilang lenyap (mati) karena tindakannya dan orang yang diingkari akan menjadi kaya. Orang yang mengingkari janji dikutuk dan ditolak oleh masyarakat umum, sedangkan orang yag diingkari mendapat penghiburan dan pengharapan yang baik dari sang pemberi rahmat. Dia akan menjadi kaya dalam hidupnya. Padan adalah janji atau perjanjian, ikrar yang disepakati oleh orang yang berjanji. Akibat dari pelanggaran padan lebih daripada hukum badan, karena ganjaran atas pelanggaran padan (janji) tidak hanya ditanggung oleh sipelanggar janji (padan), tetapi juga sampai pada generasi-keturunan berikutnya. Ada unsur kepercayaan kutukan di dalamnya. Padan bersifat pribadi dan rahasia, diucapkan tanpa saksi atau dengan saksi. Jika padan diucapkan pada waktu malam maka saksinya ialah bulan maka disebut padan marbulan. Dan jika diucapkan pada siang hari saksinya ialah hari dan matahari disebut padan marwari. Nilai menepati janji cukup kuat pada orang Toba. Ini mungkin ada kaitannya dengan budaya padan yang menyatakan perbuatan ingkar janji merupakan yang terkutuk.
Jenis pantun dan digunakan pada kesempatan : pantun ini tergolong ke dalam pepatah (Batak : umpama) nasehat kepada orang yang berjanji (Batak: marpadan). Pepatah ini digunakan pada kesempatan ketika menasehati orang yang sering menginkari janji. Pada upacara adat terjadi pembicaraan dan berkaitan dengan pengadaan perjanjian. Nasehat ini diberikan dan disampaikan oleh orang tua dari kalangan keluarga. Ini merupakan unsur sosialisasi untuk mendidik orang Toba menjadi orang yang konsekuen dalam bertindak.

E.     Berkaitan dengan Kehidupan Sosial Masyarakat :

·         Ansimun sada holbung
·         Pege sangkarimpang
·         Manimbuk rap tu toru
·         Mangangkat rap tu ginjang


Arti harafiah dan leksikal :
·         Mentimun satu kumpulan
·         Jahe satu rumpun batang
·         Serentak melompat ke bawah
·         Serentak melompat ke atas
Arti terdalam : Umpama ini digunakan untuk kerabat sedarah dan dari satu keluarga (Batak: dongan sabutuha). Pepatah ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung duka dan derita, suka dan kegembiraan. Sejajar dengan ungkapan:”ringan sama dijingjing, berat sama dipikul”. Dari ungkapan ini terbersit arti mendalam dari kekerabatan yang dianut oleh orang Batak Toba. Kekerabatan mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang dipupuk atas dasar hubungan darah.Kerukunan diusahakan atas dasar unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Hubungan antar manusia dalam kehidupan orang BatakToba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Hubungan ini telah disosialisasikan kepada generasi dari generasi ke generasi berikutnya. Hubungan ini telah ditanamkan kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, misalnya dengan orang tua, sanak saudara dan kepada famili dekat. Pengertian marga dijelaskan dengan baik sesuai dengan kode etik Dalihan Na Tolu. Tata cara kehidupan, cara bicara, adat-istiadat diatur sesuai dengan kekerabatan atas dasar Dalihan Na Tolu itu. 
Jenis sastra : tergolong dalam kelompok pepatah (Batak: umpama). Dipakai pada kesempatan pesta pernikahan, pesta adat dan pada waktu kemalangan. Pepatah ini digunakan sebagai nasehat untuk pihak yang berpesta dan yang sedang kemalangan. 



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Di dalam kehidupan bermasyarakat Suku Batak diatur oleh norma-norma sosial. Norma-norma sosial itu diantaranya norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan.
Dalam norma keagamaan Suku Batak mempunyai suatu konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala.
Dalam norma kebiasaan di suku Batak terdapat kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan yaitu Martutuaek (kelahiran), Pasahat Tondi (kematian), Mardebata (peribadatan atas niat seseorang), Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit), dan Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan).

Dalam norma kesopanan di Suku Batak terdapat sistem kekerabatan (partuturan) dibagi menjadi 3, yaitu tutur-sapa awal, tutur-sapa yang paling akrab, tutur-sapa yang berpantangan (parsubangon). Dan sastra kebijaksanaan batak  seperti berkaitan dengan penderitaan manusia, nasihat dan larangan melakukan perzinahan, etika kesopanan (sopan santun), dan janji atau nazar yang harus ditepati, serta kehidupan sosial masyarakat

B.     Saran
Dengan membuat makalah tentang norma sosial di lingkungan masyarakat Suku Batak ini diharapkan dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai norma-norma di salah satu suku Indonesia, terutama suku Batak. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.


DAFTAR PUSTAKA








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar