MAKALAH NORMA
SOSIAL
DI MASYARAKAT SUKU
BATAK
Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Anthopologi Keperawatan Semester I
Disusun oleh:
Nurdyah Ayu Oktaviani
P1337420117002
1-A1
DIII
Keperawatan Semarang
PRODI D III KEPERAWATAN SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Makalah Tentang Norma Sosial Di Masyarakat
Suku Batak”.
Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini dapat diselesaikan berkat bimbingan dan bantuan
sejumlah pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
- Dosen
Pengampu Mata Kuliah Anthopologi Keperawatan Bapak Purnomo. SKM. M.Kes
- Kedua Orang
Tua yang selalu memberikan motivasi kepada kami
- Teman-teman
yang telah memberikan dukungan
Penulis sangat
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun akan sangat kami harapkan. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat.
Semarang,
8 November 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
.............................................................................
|
i
|
KATA PENGANTAR
..........................................................................
|
ii
|
DAFTAR ISI
.........................................................................................
|
iii
|
BAB I PENDAHULUAN
.....................................................................
|
1
|
A. Latar
belakang ........................................................................
|
1
|
B. Rumusan
Masalah ..................................................................
|
2
|
C. Tujuan Penulisan ....................................................................
|
2
|
D. Manfaat Penulisan ..................................................................
|
2
|
BAB II
PEMBAHASAN
......................................................................
|
3
|
A. Norma
Keagamaan ..................................................................
|
3
|
B. Norma
Kebiasaan .....................................................................
|
9
|
1. Martutuaek
(Kelahiran) ....................................................
|
9
|
2.
Pasahat
Tondi (kematian) ................................................
3.
Mardebata
(peribadatan atas niat seseorang) ..............
4.
Upacara Mangan Na
Paet (Memakan yang Pahit) .....
5.
Upacara Mamasumasu
(Memberkati Perkawinan) ....
C.
Norma Kesopanan
.......................................................................
1)
Sistem Kekerabatan
(Partuturan) ........................................
2)
Sastra Kebijaksanaan
Batak ................................................
|
15
20
21
21
22
23
26
|
|
|
BAB III PENUTUP................................................................................
|
31
|
A. Simpulan ..................................................................................
|
31
|
B. Saran .........................................................................................
|
31
|
DAFTAR
PUSTAKA .…………………………………....…....…….
|
32
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang
menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah
tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial
masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas
dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada
dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat
berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk
sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan
norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat
berisi tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau
wajar. Norma tersebut berfungsi untuk mengatur tingkah laku masyarakat supaya
di dalam kehidupan bermasyarakat tercipta keamanan, kenyamanan, dan
kesejahteraan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar
norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
norma itu, akan memperoleh hukuman. Untuk itu masyarakat mau tidak mau harus mematuhi norma-norma yang
berlaku di suatu daerah, misalnya Suku Batak. Suku Batak mempunyai norma-norma
sosial seperti norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan.
Norma-norma tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat Suku Batak supaya dalam
kehidupan bermasyarakat tercipta keharmonisan dan tentu terhindar dari
sanksi-sanksi yang telah ditentukan. Norma-norma sosial di lingkungan masyarakat
Suku Batak akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan materi pada makalah
ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah dipaparkan diatas, kami akan membahas norma sosial di masyarakat suku
batak diantaranya:
1. Apa
saja Norma Keagamaan di Suku Batak?
2. Apa
saja Norma Kebiasaan di Suku Batak?
3. Apa
saja Norma Kesopanan di Suku Batak?
C.
Tujuan
Dari rumusan masalah
diatas kami mempunyai tujuan:
1. Untuk
mengetahui Norma Keagamaan di Suku Batak.
2. Untuk
mengetahui Norma Kebiasaan di Suku Batak.
3. Untuk
mengetahui Norma Kesopanan di Suku Batak.
D.
Manfaat
Masalah
Manfaatnya adalah sebagai informasi
bagi pembaca mengenai norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat pada
Suku Batak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Norma Keagamaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya,
persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya
sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam
kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu
adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan
sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk
mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21).
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda
dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa
orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah
implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri
sendiri yaitu
A.
Mulajadi Nabolon
1.
Siapa mulajadi nabolon bagi orang batak toba
Asal-usul dan ati nama Masyarakat Batak Toba menamai Allahnya (The High
God) dengan Mulajadi Nabolon. Ada beberapa variasi nama yang dialamatkan kepada
Allah Tinggi Orang Batak tersebut yakni: Ompu Tuan Mulajadi Nabolon, Debata
Mulajadi Nabolon, Mulajadi Nabolon, Ompu Silaon Nabolon, Tuan Bubi Nabolon, dan
Raja Minangkabau. Dari beberapa variasi nama itu, nama Mulajadi Nabolon
merupakan nama yang paling umum dan sering digunakan dalam literatur Batak
Toba.
Arti Mulajadi Nabolon sendiri diartikan sebagai Pemula Agung Genesis
(menjadi alasan mengapa tulisan ini mau tidak mau menghubungkan Mulajadi
Nabolon dengan penciptaan, sebagaimana disebut dalam Pengantar). Mulajadi
merupakan komposisi dari 3 kata: mula, jadi, dan bolon. Mula berarti awal atau
permulaan; jadi berarti menjadi (dalam bentuk aktif intransitif, manjadi).
Bolon berarti besar, agung. Nabolon adalah unsur gelar yang merupakan paduan
dari 2 kata: na (yang) dan bolon (besar, agung). Karena merupakan unsur nama
keduanya dipadukan. Kodding mengartikan Mulajadi Nabolon dengan “der groβe
Anfang des Werdens oder der seinen Anfang in sich selbst hat.” Oleh Edwin M.
Loeb diterjemahkan dengan “Pemula Agung segala yang ada atau ‘Dia yang memiliki
awal dalam dirinya sendiri.’” Ph. L. Tobing, mengikuti Warneck, menyebutnya
sebagai Sang Asal Kejadian (The Origin of Genesis). Sementara Anicetus B.
Sinaga menerjemahkannya dengan Sang Pemula Agung Genesis.
Sebelumnya, dalam budaya Batak Toba, perlu dipahami perbedaan arti: mula
dan bona. Memang, kedua-duanya menunjuk pada ide/paham permulaan. Bona
(marbona) bisa dibandingkan dengan batang atau dasar dari sebuah pohon. Bona
menyatakan asal-usul (origin) yang bentuk aktif transitifnya adalah ‘marbona.’
Kata ini tidak pernah dihubungkan dengan nama Allah Tinggi. Sementara, mula
berarti awal. Memaknai nuansa kata ini, maka Mulajadi Nabolon diartikan sebagai
‘Pemula dari Genesis’. Dari analisis ini kita sampai pada kesimpulan: a.
Ciptaan itu selalu mulai dengan waktu berlawanan dengan awal yang abadi dari
Allah Tinggi, b. Allah Tinggi adalah Pemula tidak hanya sebagai “awal.” Dia
dipahami sebagai penyebab kejadian yang dengan aktif memulai penciptaan; ‘Awal
Agung Genesis’ menjadi ‘Pemula Agung Genesis.’
Orang Batak Toba memakai terminologi langit untuk menyebut surga.
Diyakini bahwa surga terdiri dari 7 lapis/tingkat (langit sipitu lampis).
Mulajadi Nabolon tinggal di surga paling tinggi, pada langit ketujuh. Keyakinan
ini tampak dalam kata-kata doa datu Orang Batak Toba: Daompung Debata natolu,
na tolu suhu na tolu harajaon sian langit na pitu tindi, sian ombun na pitu
lampis, sahata saoloan Ho dohot Debata mulamula, Debata Mulajadi, na pande
manuturi, na malo mangajari.
2.
Mulajadi nabolon sebagai allah yang mengatasi waktu
Mulajadi Nabolon adalah Awal yang abadi “Adong ma nasaingan, nasaingan ni
narobi, namargoar Ompunta Tuan Bubi na Bolon i, ima Debata na sasada i.” ‘Pada
awal mula’ menunjukkan mula yang abadi, Mulajadi Nabolon. Tampubolon membuat
rumusan yang menegasikan temporalitas Allah Tinggi: ‘Dia tidak mempunyai awal,
datang dari yang tak berawal, yang tidak berawal dan berakhir.’ (Tampubolon,
1964:3).
Immoralitas Mulajadi Nabolon Ungkapan Toba menyebut Mulajadi Nabolon
sebagai na so ra mate, na so ra matua (…..dia tidak mati atau bertambah tua…).
Pernyataan ini menegasikan pengalaman human manusia yang bertambah tua dan
mati. M. Loeb menyimpulkan bahwa Mulajadi Nabolon immortal dan Mahakuasa.
Kekekalan sebagai bagian dari transendensinya. Kekekalan Allah menjadi komponen
transenden karena dua hal ini:
Ø Mulajadi
Nabolon memiliki keberadaan, hidup aktual, dan sempurna dalam dirinya sendiri
berbeda dari dan tak sama dengan ciptaan.
Ø Penjadian
‘dunia fenomenal’ dapat diperkecil pada aktivitas penciptaan Allah Tinggi.
3.
Mulajadi nabolon disapa sebagai ompu(ng)
Kedua kata Ompu dan Ompung mempunyai arti yang identik. Kata Ompung biasa
dipakai sebagai bentuk vokatif/sapaan. Dalam budaya Batak Toba, gelar Ompu
menunjuk pada setiap orang dari generasi satu kakek atau mereka yang lebih tua.
Sapaan akan gelar itu menandakan kuasa (power), kehormatan (dignity), dan
kekudusan/mulia (holiness).
Warneck menyebut Allah Tinggi dengan Ompu Tuhan Mulajadi Nabolon.
Sementara, W.A. Braasem menyebut Ompunta Debata Nabolon dan Ompunta Tuan Bubi
Nabolon. Dalam konteks religius, Ompu ditujukan untuk hal yang dianggap kudus.
Para dewa dan hal-hal supernatural termasuk Allah Tinggi disebut Ompung. Gelar
Ompung adalah gelar terluhur dan tertinggi. Keluhuran dan kemuliaan Mulajadi
Nabolon itu tampak dalam ungkapan: “Ho, ale Ompung, Mulajadi Nabolon, na hundul
di tatuan, di ginjang ni ginjangan, di langit ni langitan.”
B.
Debata Asi-asi
Debata Asi-asi (
Manuk-Manuk Hulambu jati atau Raja Pinang Habo ) adalah mahluk pertama yang
diciptakan oleh Debata Mulajadi Nabolon, berparuh besi berkuku gelang yang
berkilauan. Mengenai bentuknya, seperti kupu-kupu yang sangat besar dan
mempunyai telur seperti periuk yang sangat besar, wajahnya seperti sarung
bintang Rumariri. Kemudian kepada Debata Asi-asi, Mulajadi Nabolon pernah
bersabda bahwa Debata Asi-asi ditakdirkan hanya bisa menerima segala kata-kata
dari manusia. Memberkati manusia supaya selalu bergondang. Bila yang diinginkan
gondang Debata Guru maka baju yang di gunakan harus berwarna hitam, Jika yang
diinginkan gondang Debata Sori baju yang digunakan harus berwarna putih dan
jika yang diinginkan gondang Debata Bulan maka baju yang digunakan harus
berwarna merah. Biasanya permintaan atau ritual tersebut diatas dilaksanakan
satu kali dalam setahun. Namun bukan dalam hal ini saja setiap manusia selalu
membutuhkannya, tetapi dalam segala hal yang diperlukan. Dan apabila suatu hari
nanti ada manusia yang bungkuk, yang buta, yang tuli, yang satu tangan dan yang
satu kaki, maka mereka adalah golongan dari orang-orang yang menghinanya,
tetapi apabila ada anak satu-satunya yang bersedih hati, manusia yang banyak
keturunan, raja dan panglima maka mereka adalah orang-orang yang selalu
bersyukur dan memanggilnya, sebab apa dan bagaimanapun manusia adalah
titisannya.
C.
Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi.
Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam
semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih
rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui
oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti
maha guru yang memberi ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan
penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10).
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita
dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar
untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng
di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua
suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain.
Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak
ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi
Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa
tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang)
Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon
menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan
pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan
bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso
sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud
dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak”
itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah
meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang
sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas
sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat
Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati,
dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan
dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa
dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh
perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang
dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat
disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya
Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala
yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang
menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara
terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula
dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada
daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak
sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang
Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah
kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang
mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi
pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun.
Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan
antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan
hasangapon. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di
dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang
penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana
seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang
bisa diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada
nilainilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon
(kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia
adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan
kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi
seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur
hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting
untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari
usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati
sanak saudaranya dan marga yang dia miliki.
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang
Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian
kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang
yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena
memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk
mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai
hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai
harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak
beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang
tinggi akan mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil,
sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan
kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan
dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat,
dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa
masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati
posisi rendah dibanding laki-laki.
B.
Norma Kebiasaan
1. Martutuaek
(kelahiran)
1) Upacara
menjelang kelahiran
Manusia berada di kandungan selama sembilan namun menurut keyakinan suku
batak pada zaman dahulu apalagi khususnya dengan ugamo malim, terjadinya
manusia menjalani rentan waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu
hanya sembuilan bulan, dan munurut orang batak selama tiga bulan lagi berada di
dalam kandungan ayahnya. Sebab jika tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya
selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak mengandung.
Keyakinan
suku batak terhadap kodrat kandungan pada zaman dahulu yaitu :
Bulan 1 : benih tiga bulan dalam kandungan ayah. Benih kejadian ada pada ibu. Roh dan Rohani bercampur dengan roh jasmani ditambah kodrat Mulajadi berdiam di bumi suci rahim ibu.
Bulan 1 : benih tiga bulan dalam kandungan ayah. Benih kejadian ada pada ibu. Roh dan Rohani bercampur dengan roh jasmani ditambah kodrat Mulajadi berdiam di bumi suci rahim ibu.
Bulan 2 : telah
bertambah Debata Natolu di bumi suci dimana mendapat getaran, dan jika sudah
ketemu maka akan terbentuk, hal ini terjadi sampai bulan ke empat.
Bulan 5 : pada bulan kelima, terjadilah proses terbentuknya otak manusia dalam bumi suci.
Bulan 5 : pada bulan kelima, terjadilah proses terbentuknya otak manusia dalam bumi suci.
Bulan 6: prosesbulan
keenam adalah proses terjadinya urat manusia dan sudah mulai bergerak.
Bulan 7: pada bulan
ketujuh adalah proses terjadinya tulang.
Bulan 8: pada bulan
kedelapan bayi sudah hamper rampung dan sudah mulai bolak-balik seta mulai
terjadinya rambut.
Bulan 9:
proses
pemisahan air ketuban
proses
pemisahan bungkus
proses
pemisahan tali-tali
proses
pemisahan darah pengiring maut dan tinggal menunggu hari lahirnya.
Setelah sembilan bulan dalam kandungan maka bayi tersebut mulai berputar,
selama tujuh hari. Tiba pada hari ketujuh setelah bayi tersebut berputar
sebayak tujuh kali, maka pintu bumi pun terbuka dan bayi tersebut keluar dan
kemudian menangis memulai hidup ke zaman ini.
Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan saumi istri
jangan dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit
batuk-batuk, dan cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala
yang diinginkan sebaiknya harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si
anak yang akan lahir di kemudian hari akan terkendala dalam mencari hidup”.
Sebelum si ibu melahirkan, sebaiknya orang tua dari si ibu memberikan makanan
adat batak berupa ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan agar si ibu
sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak
yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara .
Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil Sibaso
(dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk
melahirkan yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih
dahulu didoakan kemudian dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu
untuk ditelan. Daun ubi rambat dan daun bunga raya direbus beserta air dari
pancuran disaring lalu diminumkan kepada si ibu mengarah ke bawah.
2) Upacara Saat
Terjadi Kelahiran
Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang akan
lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara
demonstrative walaupun kelahiean itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu
dilakukan di depan rumahnya dengan menuimbulkan suaa keras dan jendela rumah
pun dibuka lebar-lebar dan asap pun membubung dari perapian dapur. Inilah yang
menjadi tanda bahwa ada terjadi kelahiran, sehingga warga kampung merasa
terpanggil untuk melihat kebahagiaan tersebut.
Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu,
lalu sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan
beralaskan buah ubi rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman
ari-ari bayi pada orang batak biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama
hidup hanya satu kali kita bisa lihat wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku
batak meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau saudara dari anak yang baru
lahir dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari itu harus
dijaga dengan baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok
kecil yang diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut,
dan tujuh lembar daun sirih.
Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan mengunyahnya
dan kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan membersihkan kotoran yang
dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan dalam saluran pencernaan
makanan yang pertama yang disebut Tilan (kotoran pertama), bahkan siduku
memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam, bersama Soit (sebuah
anyaman kalu7ng yang terdapat dari sebuah kayu) dan hurungan Tondi (buah kayu
yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak kayu yang bertuliskan tulisan batak.
Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan
angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut terus
menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk memotong pusar
tadi, yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.
3) Upacara
setelah kelahiran
Mangirdak :dalam suku
batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan baik
dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang
harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede
menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai
rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan
ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan
istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung
adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari
orangtua si perempuan dalam memberikan semangat.
Pemberian
Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan
selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si
putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna
spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini
dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja
mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.
Mengharoani: sesudah
lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan
bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan
istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya
dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang
akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah
yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan
juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.
Martutu Aek:
pada hari
ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur dan dimandikan dan
dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta Martutu
Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah
ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu
matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama
dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka.
Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan
kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak,
yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus ini, keluarga
menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga
yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur untuk
menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus meminta agar
semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya
dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada
zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah
symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si
bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau
pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda
syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata sesudah makan, maka diumumkan lah
nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa
bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja . Namun
pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar karena
keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak
menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan
mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan
kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya
persembahan-persembahan kepada dewi air Boru saniang naga sehingga si anak
kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.
Mengallang
Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai kebahagiaan yang luar biasa
dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan memotong ayam dan
memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah
malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu
dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat
kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian
ibu-ibu sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga
bagian dari Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan).
Kalau didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini
biasanya hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur
labu siam dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan
sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas
kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau
”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan
ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah
melahirkan tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah.
Makna spiritualitas yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap
warga yang sekampung dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung
tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.
Selain
jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit atau Marambit (harafiahnya
berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang diadakan keluarga untuk menyambut
kelahiran si bayi dengan memotong babi). Pada kesempatan inilah keluarga dapat
menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar
menghadiahkan sepetak tanah yang disebut indahan arian (makan siang) kepada cucunya
ataupun pemberian seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni ansimun (biji
ketimun, yang dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang dapat
dibagi-bagikan semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.
Mebat atau
Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka keluarga pun
memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau melawat (mebat,mengebati) kepada
ompungnya (terutama ompungbao) dan keluarga lain seperti tulang. Ketika
melakukan kunjungan, keluarga ini membawa makanan (memotong seekor babi) kepada
ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos parompa
(ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen
batak modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan
sebab makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak
secara emosional kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal inilah
yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.
Paias Rere: ada kalanya
suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung mertuanya dan melahirkan anak
disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu, keluarga mengadakan jamuan paias rere
(membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima kasih atas kesibukan
mertua dalam mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen batak modern
yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere
ini harus dikritisi dan diberi makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima
kasih. Sebab bagi kita anak laki-laki dan perempuan sama saja. Inilah yang
menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Paias Rere.
Ulos
Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao kepada cucunya. Pada
zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan untuk
menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekaranfg dalam prakteknya
ulos parompa tinggal merupakan symbol kasih ompungbao sebab komunitas batak
modern sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau
ayunan untuk menggendong bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama
di kota-kota untuk mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi
seolah-olah semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru
lahir. Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas
yang terkandung dalam pemberian ulos parompa adalah menunjukkan kedekatan atau
perhatian yang besar dari ompungbao kepada si anak yang lahir itu.
Dugu-dugu: sebuah
makanan cirri khas batak pada saat melahirkan, yang diresep dari bangun-bangun,
daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini bertujuan untuk mengembalikan
peredaran urat bagi si ibu yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor bagi
ibu yang melahirkan, menambah dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus
memberikan kekuatan melalui asi kepada anknya.
Dasar Hukum Martutuaek
1)
Setelah bayi
yang lahir genap erumur satu bulan, barulah boleh ditabalkan namanya dalam
suatu upacara yang ditentukan waktunya.
2)
Ibadat ini
dilaksanakan dengan persembahan dupa dan pangurason
yang berisi dua buah jeruk purut. Selain itu ada kain putih yang melambangkan
kesucian.
3)
Tidak boleh
dibawa bayi yang baru lahir itu ke mata air sebelum dilaksanakan upacara martutuaek.
4)
Apabila
keadaan waktu yang membuat terpaksa anak itu dibawa bepergian dan kebetulan
pula melewati mata air, maka pada waktu pemberian namanya, sia anak tidak perlu
lagi dibawa ke mata air untuk memandikannya.
5)
Tidak ada
alasan kemiskinan untuk tidak mentaati aturan agama Malim (martutuaek), telah tertulis dalam pustaha habonoron (sumber hukum)
yang berbunyi “nipisna mantet
neangna, hapalna mantet dokna”
artinya dilaksanakan sesuai kemampuan.
6)
Semua
upacara agama yang merupakan aturan (ibadat dalam agama Malim) harus dipimpin
oleh pemimpin ritual (ihutan atau wakilnya) kecuali upacara Mararisabtu.
2. Pasahat
Tondi (kematian)
Pada
masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah
unik dan sangat khas. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan
usia dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih
dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat
(langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate
poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja
(mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate
ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya
ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum
dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal
dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung,
ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang
meninggal.
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang
yang mati:
1.
Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu),
2.
Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya
yang masih kecil (mate
mangkar),
3.
Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan
sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon),
4.
Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum
menikah (mate sari matua),
dan
5.
Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya
(mate saur matua).
Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki
keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena
kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi
dari banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur
sebagai objek pemujaan (Soejono,1984:24).
Mate Saur matua
menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat Batak
(terkhusus Batak Toba), karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga.
Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung
(mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan
tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya
perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep
kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk
orang yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang
meninggal tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan
ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat
meninggalnya memang dikarenakan proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak
akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang meninggal dalam status saur matua,
hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/LUNAS. Dalam masyarakat Batak,
hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang
itu LUNAS, maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.
Masyarakat Batak biasanya mengadakan acara seperti acara pernikahan,
dengan menampilkan alat musik berupa organ untuk bernyanyi, makan makan seperti
menyembelih hewan, minum minuman tradisional seperti tuak. Alat musik organ
digunakan di daerah perantauan umumnya, namun di daerah aslinya, Sumatera
Utara, gondang sebagai alat musik khas Bataklah yang digunakan. Ini semata-mata
karena alat musik gondag yang sulit ditemukan di daerah perantauan. Untuk
peyembelihan hewan, juga ada kekhasannya. Masyarakat Batak secara tersirat
seperti punya simbol tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang
meninggal dalam status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan
disembelih oleh keluarga Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang
meninggal terbilang sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang
disembelih, maka anggapan orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih
positif, yang berarti anak-anak yang ditinggalkan sudah sangat sukses di
perantauan sana.
Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera
mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak
kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan
natolu. Dalihan
natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari
tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri),
pihak dongan tubu
(kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang
dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga
perempuan pihak ayah). Martonggo
raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka,
pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir
sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam
penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara,
lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara
dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan
peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta
pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara,
dsb.
Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya
diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki dari pihak isteri) telah
hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering terpaksa
berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu
kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat
dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum
dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi
dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti
masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan
pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah
duka).
Jenazah yang telah dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di
tengah-tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke
pintu keluar rumah. Di sebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki
dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan di sebelah kiri adalah
anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Di sinilah
dimulai rangkaian upacara saur
matua. Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah
datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan
pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa
nasi dengan lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh
para parhobas
(orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah
jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama).
Jambar terdiri
dari empat jenis berupa : juhut
(daging), hepeng
(uang), tor-tor
(tari), dan hata
(berbicara) (Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan
hak dari jambar
sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar
hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Namun bagi
keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Selepas ritus pembagian jambar
juhut, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak
memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang meninggal saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata
dimulai dari hula-hula,
dilanjutkan dengan dongan
sahuta, kemudian boru
/ bere, dan
terakhir dongan sabutuha.
Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus
manortor
(menarikan tarian tor-tor).
Tor-tor adalah
tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat
musik tradisional khas Batak). Gondang
sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak, terdiri dari
seperangkat instrumen yakni : 4 ogung,
1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1 gondang, 1 sarune.
Setelah jambar tor-tor
dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai
balasan pihak hasuhuton
kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya
upacara. Setiap peralihan mangampu
dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor
dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri
upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri
dengan menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat).
Ibadah bisa dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi
perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka
sebelum peti dimasukkan ke dalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya),
ibadah singkat dilaksanakan (berdoa), barulah jenazah yang sudah di dalam peti
yang tertutup dikuburkan.
Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus
memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan)
untuk diberikan kepada pihak hula-hula.
Namun mengenai adat ungkap
hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini.
Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap
hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun
yang akan diberikan untuk ungkap
hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah
membawa rasa senang pada pihak
hula-hula.
Ini adalah bagian dari ritual kematian adat Batak, khususnya Batak Toba.
Memang unik, tetapi itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti prosesi
ini sendiri. Kematian yang seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda
tawa dan riuhnya pesta pakai musik, layaknya pesta pernikahan, hanya jika
mendiang meninggal dalam status SAUR MATUA tadi. Ya, ini memang adatnya, kita
tidak mungkin menolak ataupun menentangnya. Tetapi saya bangga memiliki
budaya seperti ini, penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di dunia ini.
Dasar Hukum Pasahat Tondi
a.
Tidak boleh menangisi bahkan meratapi orang yang
sedang sakit sekarat serta orang yang sudah meninggal dunia. Hal itu akan
berakibat terhambatnya ruhnya menghadap Debata.
b.
Tidak boleh makan di rumah keluarga si mayat selama
jenazah itu belum dikuburkan.
c.
Terlebih dahulu tanah kuburan disucikan dan diberitahu
kepada Nagapadohaniaji sebelum tanah itu digali.
d.
Jenazah harus dimandikan sampai bersih dengan
beralaskan kain putih. Apabila sudah bersih, maka jenazah itu dibalut dengan kai
putih dan baru kemudian dimasukkan ke dalam peti jenazah.
e.
Apabila sudah didoakan agar dihapuskan dosa-dosanya,
jenazah disucikan kembali. Barulah kemudian peti jenazah itu boleh ditutup dan
dibawa ke kuburan.
f.
Selama tujuh hari dan tujuh malam, rumah tempat
persemayaman mayat harus isucikan.
·
Adab
terhadap Jenazah
Jika yang
meninggal anak kecil,hukumnya harus segera dikebumikan, tetapi jika yang
meninggal itu orang dewasa, atau lansia maka boleh saja disemayamkan lebih lama
selama tiga hari batas maksimalnya. Dikarenakan supaya kerabat yang dari jauh
atau merantau atau yang sedang bepergian dapat melihat jenazah untuk yang
terakhir kalinya.
3.
Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
Secara harfiah, mardebata bermakna “menyembah Debata” menurut istilah
adalah, upacara penyembahan kepada Debata dengan perantaraan sesaji yang bersih
yang diantarkan melalui bunyi-bunyian gendang selengkapnya (gondang sebangunan) atau gendang kecapi
(gondang hasapi).[1][27]
Dasar Hukum Mardebata
1)
Barangsiapa yang lupa tentang patik
patuan Raja Malim (Raja Nasiakbagi) harus ditegakkannya sebuah langgatan atau podium yang didalamnya
berisikan sebuah sitompion. Bersamaan
dengan itu harus dipergelarkan gondang sabangunan dan disediakan juga ayam
jantan dan betina, kambing putih serta lembu stio-tio.
2)
Ada upacara mardebata yang sifatnya sebagai ungkapan
rasa syukur atas berkat dari Debata.
4.
Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit)
Arti mangan na paet dalam bahasa
Batak adalah “memakan yang pahit” , sedangkan meruut istilah adalah suatu
aturan (ibadat) yang wajib diamalkan oleh setiap warga parmalim pada setiap
akhir tahun.
Dasar Hukum Mangan Na Paet
1)
Apabila sudah tiba diujung tahun, tepatnya pada hari
29 dan 12 menurut kalender Batak diharuskan warga parmalim untuk berkumpul di
Bale Pasogit Partonggoan (di pusat) atau
di Bale Parsantian (di Cabang0 untuk beribadat dengan tujuan “menebus dosa”
2)
Harus diyakini bahwa memang pahit rasanya akibat dari
dosa yang sudah dilakukan mulai dari pangkal tahun hingga ujung tahun.
3)
Disebabkan penderitaan yang dialami dan juga dosa yang
diperbuat sehingga yang pahit itu suatu bukti kesungguhan hati (menebus dosa
dan bertaubat) dalam ibadat mangan na
paet.
4)
Tidak boleh memakan segala yang dapat mengenyangkan
perut dan mengerjakan “keinginan diri” termasuk hasrat seksual selama
menjalankan ibadat.
5)
5). Orang yang sudah menebus dosa
meskipun tidak disaksikan oleh orang lain dan menegakkan amal didalam kesucian
tuhan, yakinlah pada hari esok ia akan mendapatkan kehidupan tondi dan sedikitpun tak merasa takut
akan cobaan dan ujian yang akan datang.
5.
Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan)
1)
Apabila hendak kawin dengan anak parmalim, maka dari
pihak anak perempuan harus memberikan dua belas rupiah, sedangkan dari pihak
anak laki-laki sebanyak enam rupiah sebagai wujud gambaran adat yang keduanya
diletakkan diatas parbuesanti.
2)
Apabila hanya pengantin perempuan yang anggota
parmalim, sedang pengantin laki-laki bukan berasal dari agama Malim sementara
mereka berdua harus dinikahkan dengan tata cara agama Malim, maka untuk ini
pengantin laki-laki harus lebih dulu masuk menjadi penganut agama Malim dengan
memberikan persyaratan yaitu memberikan uang dua rupiah dan kain putih tujuh
hasta yang diletakkan diatas parbuesanti.
3)
Apabila pengantin laki-laki saja yang hanya penganut
agama Malim sedangkan pengantin perempuan berasal dari penganut agama lain,
sementara tata cara perkawinan bersikeras dinikahkan menurut agama Malim, maka
perempuan harus lebih dulu memberikan pengakuan lisan menjadi penganut agama
Malim.
C.
Norma Kesopanan
Didalam budaya Batak yang turun temurun sampai saat ini dan selalu
dilaksanakan adalah soal perjodohan, dimana banyak hubungan antara sesama orang
batak yang semarga ataupun berlainan marga dan berlainan rumpun marga tidak
boleh saling menikah, hal ini dilakukan karena peraturan adat yang masih
berlaku.
Dalam Suku
batak hal ini adalah peraturan, yang terkait erat dengan hukum dalihan na tolu
yaitu
1.
Somba Marhula-hula
2.
Manat Mardongan Tubu
3.
Elek Marboru
Maksud dan tujuan dari aturan ini di berlakukan agar jangan terjadi
simpang siur struktur kedudukan antara sesama orang batak dalam adat.
Di dalam adat
Batak hubungan kekerabatan yang tidak boleh saling menikahi antaralain adalah :
4.
Saudara Kandung, yaitu Anak laki-laki dan anak
perempuan dari satu ibu dan Bapak tidak boleh saling menikah.
5.
Anak laki-laki dan anak perempuan keturunan saudara
kandung laki-laki dari orang tua laki-laki tidak boleh saling menikahi.
6.
Laki-laki dan perempuan satu marga tidak boleh saling
menikah walaupun bukan saudara kandung laki-laki dari orang tua laki-laki.
7.
Laki-laki dan perempuan dalam satu rumpun marga,
misalnya walaupun mereka berbeda marga tapi dalam satu rumpun marga contohnya,
Sihaloho dengan Situngkir dll, karena dari satu rumpun Silalahi Sabungan tidak
bisa saling menikah.
8.
Anak laki-laki dan perempuan keturunan saudara
perempuan dari orang tua perempuan tidak boleh saling menikahi (Keturunan dari
Inang uda atau Inang tua marpariban).
9.
Anak laki-laki dan perempuan yang marganya marpadan
dengan satu marga, maksud marpadan adalah ikatan satu marga dengan marga lain
menjadi ikatan saudara yang di lakukan oleh leluhur dahulu.
10. Anak
laki-laki dari orang tua laki-laki tidak boleh mengawini anak perempuan dari
keturunan saudara perempuannya (Anak laki-laki tidak boleh menikahi anak
perempuan Namboru kandung), sebaliknya anak laki-laki dari saudara bapak
perempuan boleh menikahi anak perempuan saudara laki-lakinya (Anak namboru
laki-laki boleh menikahi anak tulangnya yang di sebut Pariban)
11. Anak
laki-laki tidak boleh mengambil atau menikahi anak perempuan dari keturunan
tulangnya oarang tua perempuan yang disebut tulang rorobot. (Dalam hal ini
bukan berarti tidak boleh menikahi perempuan dari marga yang sama dengan marga
tulang rorobot) dikenal dalam bahasa batak Pariban an so boi diolihon.
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak
yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan
hidup dari marga lain selain marganya.
Bila ada yang menikah dengan satu marga, dia sudah melanggar adat. Dan
akan dapat sanksi dari kepala adat yg bersangkutan. Bila sudah terjadi, akan
terjadi suatu musibah di dalam hidupnya akibat melanggar peraturan adat batak
tersebut.
Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (alias membeli marga). Dalam hal membeli marga, seseorang tersebut membuat acara untuk membeli marga, mengundang ketua adat dan raja-raja adat.
Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (alias membeli marga). Dalam hal membeli marga, seseorang tersebut membuat acara untuk membeli marga, mengundang ketua adat dan raja-raja adat.
1) Sistem Kekerabatan (Partuturan)
Sistem kekerabatan dalam masyarakat
Batak Toba, termasuk hal yang sangat penting dan berperan banyak dalam menuntun
perilaku hidupnya sehari-hari. Dengan ikatan aturan system kekerabatan itu
masyarakat batak dapat hidup dalam bimbingan sopan santun, berdedikasi,
bertanggungjawab. Dengan tutur sapa kekerabatan, masyarakat batak bias
berbicara lebih sopan, lebih beradab dan berbudaya. Oleh karena itu, dalam
masyarakat batak toba, dalam bertutur kata dan memanggil sapaan seseorang
tidaklah sembarangan. Karena sudah ada sapaan panggilan terhadap orang lain
maupun kerabat keluarga, diantaranya
A.
Tutur-Sapa Awal
Saat kita bertemu dengan seseorang yang
belum kita kenal dengan baikl, maka unutk berkomunikasi dengan beliau,
hendaklah digunakan Tutur sapa awal sebagai berikut ;
1.
Ompung,bagi seseorang Orangtua yang
memang sudah tua; orang tua dari orangtua kita. Dalam artinya bahasa Indonesia
ialah Kakek atau Nenek.
2.
Amang, bagi seorang bapak ( Ayah )
3.
Inang, bagi seorang Ibu
4.
Tulang, kepada Orangtua yang satu marga
dengan Ibu kita
5.
Bapa Uda, kepada orangtua yang satu
marga dengan Ayah kita
6.
Lae, bagi sesame laki-laki yang sebaya
kita (khusus buat laki-laki)
7.
Ito, seseorang perempuan yang sebaya
dengan kita
8.
Ampara, bagi sesama laki-laki yang satu
marga dengan kita
9.
Eda, bagi sesama wanita yang umurnya
sebaya
B.
Tutur-Sapa yang paling
akrab
- NAMBORU
Kakak atau adik
perempuan dari Ayah kita. Baik sebelum beliau menikah maupun sesudahnya.
Namboru merupakan seorang teman yang paling sesuai. Seorang remaja lelaki, akan
sangat berceloteh kepada berbagai macam hal kepada Namborunya. Bicara seenaknya
saja, dan tidak ada rasa sungkan, dan tidak akan dihantui oleh rasa marah.
- INANG
BAJU
Adik (masih
belum menikah) dari Ibu kita. Tempat mencurahkan perasaan. Biasanya wanita
lebih suka cerita kepada Inang baju daripada Namborunya.
- PARIBAN
( BORU NI TULANG)
Semua
anak gadis dari Tulang kita. Kita pasti cepat akrab. Zaman dahulu, umumnya boru
ni tulang dianggap sebagai bakal istri.
C.
Tutur-Sapa yang
berpantangan (Parsubangon)
Dalam bahasa batak, subang berarti
pantang. Dan sesuai aturan baku masyarakat batak toba, terdapat 5 macam tutur
sapa yang ditetapkan sebagai hal yang harus dijaga dengan hati-hati dan penuh
rasa hormat.
Bagi sebahagian masyarakat batak toba
yang sudah maju sekarang, bias saja mengganggap aturan ini sebagai hal yang
menggelikan. Akan tetapi, aturan baku ini telah membina hidup masyarakat batak
toba dengan etika keluarga yang baik, berguna untuk menumbuhkan rasa segan dan
rasa saling hormat-menghormati.
Inilah
tutur sapa yang berpantangan tersebut
- Namarbao
yaitu antara kita
sendiri dengan hula-hula kita (yang perempuan). Kita harus menyapa beliau
dengan kata INANG dengan penuh rasa hormat dan segan. Lebih segan dan hormat
daripada memanggil inang kepada Ibu yang lain. Bahkan harus ditambahi dengan
“halaki nang bao, atau halak ina ta”. Tujuanny auntuk menunjukkan rasa hormat
kepada beliau. Tidak boleh berbicara berduaan, atau berdekatan, apalagi
sampai senggolan. Itu amat dipantangkan. Tidak perlu menyalam langsung tangan
beliau, cukup menundukkan kepaladan berucap : “horas ma ninna hamu
inang,”. Tidak boleh duduk berhadapan seberang meja.
- Namaranggi boru
yaitu terhadap
Isteri dari adik kita Laki-laki. Sama dengan NAMARBAO, tidak boleh disebut
namanya, jangan senggolan, jangan duduk berdekatan atau langsung berhadap-hadapan.
Namun Isteri kita sering menjadi dekat dengan beliau.
- Namarhahadoli
Tutur sapa yang
digunakan isteri adik laki-laki kita sendiri kepada kita. Sama dengan nomor 2.
- Marparumaen
Isteri
dari putera kita. Tidak boleh
langsung ditegur, dipanggil atau disuruh. Karena bila seseorang sudah
menjadi mantu, itu berarti harkat kemanusiaan kita sedang menuju sempurna.
Sebentar lagi kita sudah punya cucu, satu kebanggaan yang sangat diidamba.
Pantangan hampir sama dengan yang diatas. Tidak boleh senggolan, berbicaralah
hendaklah segan, tidak sembarangan ataupun bercanda. Pada zaman dahulu cara
penyampaian pesan nya begini “ santabbi tiang, haru patu hamu ma sipanganonta
di meja I, nunga male iba “ artinya Permisi tiang, kamu buatkanlah nasi di meja
itu, saya sudah lapar”. Jadi tianglah yang menjadi alat untuk menyampaikan
pesan tersebut agar tidak berkomunikasi langsung.
- Namarsimatua
Tutur sapa dari
si mantu kepada mertua. Tetap saja tidak boleh langsung bicara. Karena itu sang
mantu hendaknya segera sigap melaksanakan tugasnya di rumah. Jangan sampai ada
perintah dari mertua
2) Sastra Kebijaksanaan Batak
A.
Berkaitan dengan
Penderitaan Manusia
·
Nunga bosur soala ni mangan
·
Mahap soala ni minum
·
Bosur ala ni sitaonon
·
Mahap ala ni sidangolon
Arti harafiah dan leksikal
: Sudah kenyang bukan karena makan Puas bukan karena minum Kenyang karena
penderitaan Puas karena kesedihan/dukacita
Sedangkan arti dan makna terdalam
: Syair pantun ini mengungkapkan keluhan manusia atas penderitaan yang
berkepanjangan yang menyebabkan keputusasaan. Penderitaan sering dianggap
sebagai takdir. Takdir ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Allah orang
Batak Toba) harus diterima dengan pasrah saja. Ada orang yang menyerah saja
pada penderitaan dan menjadi apatis. Namun untuk sebagian orang takdir dilihat
sebagai sarana pendidikan, yakni mendidik untuk tabah menghadapi segala cobaan
hidup, menyingkirkan sifat sombong dan sekaligus menanamkan rasa patuh kepada
orang tua, raja, hula-hula (kerabat keluarga), nenek moyang dan Debata Mulajadi
Na Bolon.
Jenis pantun ini ialah
“pantun andung” (pantun tangisan) pada penderitaan. Pantun ini diungkapkan pada
waktu mengalami penderitaan (kesedihan dan duka cita), misalnya pada saat
kematian orang tua, sahabat dan famili.
B.
Berkaitan dengan
Nasihat dan Larangan Melakukan Perzinahan :
·
Silaklak ni dandorung
·
Tu dangka ni sila-sila
·
Ndang iba jumonokjonok
·
Tu na so oroan niba
Arti
harafiah dan leksikal :
·
Kulit kayu dandorung
·
Ke dahan kayu silasila
·
Dilarang mendekati perempuan/wanita
·
Jika tidak istri sendiri
Arti terdalam : Dua baris
terakhir dari syair pantun di atas menasehatkan kepada semua pria agar tidak
mendekati seorang perempuan/wanita yang tidak istrinya. Nasehat ini merupakan
usaha untuk menghindari tindakan perzinahan dan sekaligus merupakan larangan
untuk tidak melakukan perzinahan. Seorang laki-laki yang mendekati perempuan
yang bukan istrinya dan melakukan hubungan seksual disebut berzinah. Orang yang
melakukan perzinahan dihukum dan terkutuk hidupnya.
Jenis Sastra :
Pepatah nasehat ini digolongkan ke dalam pantun nasehat atau pepatah nasehat
(Batak: umpama etika hahormaton, adat dohot uhum). Pepatah ini digunakan pada
kesempatan pesta adat, pesta perkawinan, dan pada hari-hari biasa serta pada
kesempatan yang biasa juga. Juga sering diungkapkan pada waktu diadakan
musyawarah kampung karena adanya tindakan pelanggaran perkawinan. Biasanya
orang yang berzinah dihukum secara adat.
C.
Berkaitan
dengan Etika Kesopanan (sopan santun) :
”
Pantun hangoluan, tois hamatean!”
Arti harafiah dan leksikal :
Sikap hormat dan ramah mendatangkan kehidupan dankebaikan; sikap ceroboh atau
sombong (tidak tahu adat) membawa kematian/malapetaka.
Arti terdalam :
sopan santun, sikap hormat dan ramah tamah akan membuahkan hidup yang mulia dan
bahagia (baik), sedangkan sikap ceroboh dan sombong (angkuh) akan menyebabkan
kematian, penderitaan, malapetaka dalam hidup seseorang. Pada umumnya orang
yang sopan memiliki banyak teman yang setia, ke mana dia pergi selalu mendapat
perlindungan dan sambutan dari orang yang dijumpainya. Sedangkan orang yang
ceroboh dan sombong sulit mendapat teman bahkan sering mendapat lawan dan
musuhnya banyak. Yang seharusnya kawan pun menjadi lawan bagi orang yang
seperti ini.
Jenisnya dan digunakan pada kesempatan :
Sastra ini tergolong dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat. Pepatah etika sopan
santun. Biasanya digunakan pada kesempatan memberangkatkan anak, famili atau
sahabat yang hendak pergi ke perantauan. Dan pepatah ini digunakan sebagai
nasehat orang-orang tua kepada anakanaknya.
D.
Berkaitan
dengan “Janji atau nazar” yang harus ditepati:
·
Pat ni satua
·
Tu pat ni lote
·
Mago ma panguba
·
Mamora na niose
Arti
harafiah dan leksikal :
·
Kaki tikus
·
Ke kaki burung puyuh
·
Lenyap/hilanglah si pengingkar janji
·
Dan kayalah yang diingkari
Arti terdalam : seorang yang
mengingkari janji, apalagi sering-sering mengingkari akan hilang lenyap (mati)
karena tindakannya dan orang yang diingkari akan menjadi kaya. Orang yang
mengingkari janji dikutuk dan ditolak oleh masyarakat umum, sedangkan orang yag
diingkari mendapat penghiburan dan pengharapan yang baik dari sang pemberi
rahmat. Dia akan menjadi kaya dalam hidupnya. Padan adalah janji atau
perjanjian, ikrar yang disepakati oleh orang yang berjanji. Akibat dari
pelanggaran padan lebih daripada hukum badan, karena ganjaran atas pelanggaran
padan (janji) tidak hanya ditanggung oleh sipelanggar janji (padan), tetapi
juga sampai pada generasi-keturunan berikutnya. Ada unsur kepercayaan kutukan
di dalamnya. Padan bersifat pribadi dan rahasia, diucapkan tanpa saksi atau dengan
saksi. Jika padan diucapkan pada waktu malam maka saksinya ialah bulan maka
disebut padan marbulan. Dan jika diucapkan pada siang hari saksinya ialah hari
dan matahari disebut padan marwari. Nilai menepati janji cukup kuat pada orang
Toba. Ini mungkin ada kaitannya dengan budaya padan yang menyatakan perbuatan
ingkar janji merupakan yang terkutuk.
Jenis pantun dan digunakan pada kesempatan :
pantun ini tergolong ke dalam pepatah (Batak : umpama) nasehat kepada orang
yang berjanji (Batak: marpadan). Pepatah ini digunakan pada kesempatan ketika
menasehati orang yang sering menginkari janji. Pada upacara adat terjadi
pembicaraan dan berkaitan dengan pengadaan perjanjian. Nasehat ini diberikan
dan disampaikan oleh orang tua dari kalangan keluarga. Ini merupakan unsur
sosialisasi untuk mendidik orang Toba menjadi orang yang konsekuen dalam
bertindak.
E.
Berkaitan dengan
Kehidupan Sosial Masyarakat :
·
Ansimun sada holbung
·
Pege sangkarimpang
·
Manimbuk rap tu toru
·
Mangangkat rap tu ginjang
Arti
harafiah dan leksikal :
·
Mentimun satu kumpulan
·
Jahe satu rumpun batang
·
Serentak melompat ke bawah
·
Serentak melompat ke atas
Arti terdalam :
Umpama ini digunakan untuk kerabat sedarah dan dari satu keluarga (Batak:
dongan sabutuha). Pepatah ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung duka
dan derita, suka dan kegembiraan. Sejajar dengan ungkapan:”ringan sama
dijingjing, berat sama dipikul”. Dari ungkapan ini terbersit arti mendalam dari
kekerabatan yang dianut oleh orang Batak Toba. Kekerabatan mencakup hubungan
primordial suku, kasih sayang dipupuk atas dasar hubungan darah.Kerukunan
diusahakan atas dasar unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Hubungan antar manusia dalam
kehidupan orang BatakToba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu.
Hubungan ini telah disosialisasikan kepada generasi dari generasi ke generasi
berikutnya. Hubungan ini telah ditanamkan kepada anak sejak dia mulai mengenal
lingkungannya yang paling dekat, misalnya dengan orang tua, sanak saudara dan
kepada famili dekat. Pengertian marga dijelaskan dengan baik sesuai dengan kode
etik Dalihan Na Tolu. Tata cara kehidupan, cara bicara, adat-istiadat diatur
sesuai dengan kekerabatan atas dasar Dalihan Na Tolu itu.
Jenis sastra : tergolong dalam
kelompok pepatah (Batak: umpama). Dipakai pada kesempatan pesta pernikahan,
pesta adat dan pada waktu kemalangan. Pepatah ini digunakan sebagai nasehat
untuk pihak yang berpesta dan yang sedang kemalangan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Di dalam
kehidupan bermasyarakat Suku Batak diatur oleh norma-norma sosial. Norma-norma
sosial itu diantaranya norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan.
Dalam norma
keagamaan Suku Batak mempunyai suatu konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju
pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat
Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua
orang Batak harus mempunyai sahala.
Dalam norma kebiasaan di
suku Batak terdapat kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan yaitu Martutuaek (kelahiran), Pasahat Tondi
(kematian), Mardebata
(peribadatan atas niat seseorang), Upacara Mangan Na Paet
(Memakan yang Pahit), dan Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan).
Dalam norma kesopanan di Suku Batak terdapat sistem
kekerabatan (partuturan) dibagi menjadi 3, yaitu tutur-sapa awal, tutur-sapa
yang paling akrab, tutur-sapa yang berpantangan (parsubangon). Dan sastra
kebijaksanaan batak seperti berkaitan
dengan penderitaan manusia, nasihat dan larangan melakukan perzinahan, etika
kesopanan (sopan santun), dan janji atau nazar yang harus ditepati, serta
kehidupan sosial masyarakat
B.
Saran
Dengan membuat
makalah tentang norma sosial di lingkungan masyarakat Suku Batak ini diharapkan
dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai norma-norma di salah satu suku
Indonesia, terutama suku Batak. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan serta
pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
E.
Latar
Belakang
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang
menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah
tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial
masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas
dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada
dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat
berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk
sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan
norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat
berisi tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau
wajar. Norma tersebut berfungsi untuk mengatur tingkah laku masyarakat supaya
di dalam kehidupan bermasyarakat tercipta keamanan, kenyamanan, dan
kesejahteraan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar
norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma
itu, akan memperoleh hukuman. Untuk itu masyarakat mau tidak mau harus mematuhi norma-norma yang
berlaku di suatu daerah, misalnya Suku Batak. Suku Batak mempunyai norma-norma
sosial seperti norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan.
Norma-norma tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat Suku Batak supaya dalam
kehidupan bermasyarakat tercipta keharmonisan dan tentu terhindar dari
sanksi-sanksi yang telah ditentukan. Norma-norma sosial di lingkungan
masyarakat Suku Batak akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan materi pada
makalah ini.
F.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah dipaparkan diatas, kami akan membahas norma sosial di masyarakat suku
batak diantaranya:
4. Apa
saja Norma Keagamaan di Suku Batak?
5. Apa
saja Norma Kebiasaan di Suku Batak?
6. Apa
saja Norma Kesopanan di Suku Batak?
G. Tujuan
Dari rumusan masalah
diatas kami mempunyai tujuan:
4. Untuk
mengetahui Norma Keagamaan di Suku Batak.
5. Untuk
mengetahui Norma Kebiasaan di Suku Batak.
6. Untuk
mengetahui Norma Kesopanan di Suku Batak.
H. Manfaat Masalah
Manfaatnya adalah sebagai informasi
bagi pembaca mengenai norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat pada
Suku Batak.
BAB II
PEMBAHASAN
D.
Norma Keagamaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya,
persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya
sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam
kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu
adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan
sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk
mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21).
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda
dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa
orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah
implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri
sendiri yaitu
D.
Mulajadi Nabolon
4.
Siapa mulajadi nabolon bagi orang batak toba
Asal-usul dan ati nama Masyarakat Batak Toba menamai Allahnya (The High
God) dengan Mulajadi Nabolon. Ada beberapa variasi nama yang dialamatkan kepada
Allah Tinggi Orang Batak tersebut yakni: Ompu Tuan Mulajadi Nabolon, Debata
Mulajadi Nabolon, Mulajadi Nabolon, Ompu Silaon Nabolon, Tuan Bubi Nabolon, dan
Raja Minangkabau. Dari beberapa variasi nama itu, nama Mulajadi Nabolon
merupakan nama yang paling umum dan sering digunakan dalam literatur Batak
Toba.
Arti Mulajadi Nabolon sendiri diartikan sebagai Pemula Agung Genesis
(menjadi alasan mengapa tulisan ini mau tidak mau menghubungkan Mulajadi
Nabolon dengan penciptaan, sebagaimana disebut dalam Pengantar). Mulajadi
merupakan komposisi dari 3 kata: mula, jadi, dan bolon. Mula berarti awal atau
permulaan; jadi berarti menjadi (dalam bentuk aktif intransitif, manjadi).
Bolon berarti besar, agung. Nabolon adalah unsur gelar yang merupakan paduan
dari 2 kata: na (yang) dan bolon (besar, agung). Karena merupakan unsur nama
keduanya dipadukan. Kodding mengartikan Mulajadi Nabolon dengan “der groβe
Anfang des Werdens oder der seinen Anfang in sich selbst hat.” Oleh Edwin M.
Loeb diterjemahkan dengan “Pemula Agung segala yang ada atau ‘Dia yang memiliki
awal dalam dirinya sendiri.’” Ph. L. Tobing, mengikuti Warneck, menyebutnya
sebagai Sang Asal Kejadian (The Origin of Genesis). Sementara Anicetus B.
Sinaga menerjemahkannya dengan Sang Pemula Agung Genesis.
Sebelumnya, dalam budaya Batak Toba, perlu dipahami perbedaan arti: mula
dan bona. Memang, kedua-duanya menunjuk pada ide/paham permulaan. Bona
(marbona) bisa dibandingkan dengan batang atau dasar dari sebuah pohon. Bona
menyatakan asal-usul (origin) yang bentuk aktif transitifnya adalah ‘marbona.’
Kata ini tidak pernah dihubungkan dengan nama Allah Tinggi. Sementara, mula
berarti awal. Memaknai nuansa kata ini, maka Mulajadi Nabolon diartikan sebagai
‘Pemula dari Genesis’. Dari analisis ini kita sampai pada kesimpulan: a.
Ciptaan itu selalu mulai dengan waktu berlawanan dengan awal yang abadi dari
Allah Tinggi, b. Allah Tinggi adalah Pemula tidak hanya sebagai “awal.” Dia
dipahami sebagai penyebab kejadian yang dengan aktif memulai penciptaan; ‘Awal
Agung Genesis’ menjadi ‘Pemula Agung Genesis.’
Orang Batak Toba memakai terminologi langit untuk menyebut surga.
Diyakini bahwa surga terdiri dari 7 lapis/tingkat (langit sipitu lampis).
Mulajadi Nabolon tinggal di surga paling tinggi, pada langit ketujuh. Keyakinan
ini tampak dalam kata-kata doa datu Orang Batak Toba: Daompung Debata natolu,
na tolu suhu na tolu harajaon sian langit na pitu tindi, sian ombun na pitu
lampis, sahata saoloan Ho dohot Debata mulamula, Debata Mulajadi, na pande
manuturi, na malo mangajari.
5.
Mulajadi nabolon sebagai allah yang mengatasi waktu
Mulajadi Nabolon adalah Awal yang abadi “Adong ma nasaingan, nasaingan ni
narobi, namargoar Ompunta Tuan Bubi na Bolon i, ima Debata na sasada i.” ‘Pada
awal mula’ menunjukkan mula yang abadi, Mulajadi Nabolon. Tampubolon membuat
rumusan yang menegasikan temporalitas Allah Tinggi: ‘Dia tidak mempunyai awal,
datang dari yang tak berawal, yang tidak berawal dan berakhir.’ (Tampubolon,
1964:3).
Immoralitas Mulajadi Nabolon Ungkapan Toba menyebut Mulajadi Nabolon
sebagai na so ra mate, na so ra matua (…..dia tidak mati atau bertambah tua…).
Pernyataan ini menegasikan pengalaman human manusia yang bertambah tua dan
mati. M. Loeb menyimpulkan bahwa Mulajadi Nabolon immortal dan Mahakuasa.
Kekekalan sebagai bagian dari transendensinya. Kekekalan Allah menjadi komponen
transenden karena dua hal ini:
Ø Mulajadi
Nabolon memiliki keberadaan, hidup aktual, dan sempurna dalam dirinya sendiri
berbeda dari dan tak sama dengan ciptaan.
Ø Penjadian
‘dunia fenomenal’ dapat diperkecil pada aktivitas penciptaan Allah Tinggi.
6.
Mulajadi nabolon disapa sebagai ompu(ng)
Kedua kata Ompu dan Ompung mempunyai arti yang identik. Kata Ompung biasa
dipakai sebagai bentuk vokatif/sapaan. Dalam budaya Batak Toba, gelar Ompu
menunjuk pada setiap orang dari generasi satu kakek atau mereka yang lebih tua.
Sapaan akan gelar itu menandakan kuasa (power), kehormatan (dignity), dan
kekudusan/mulia (holiness).
Warneck menyebut Allah Tinggi dengan Ompu Tuhan Mulajadi Nabolon.
Sementara, W.A. Braasem menyebut Ompunta Debata Nabolon dan Ompunta Tuan Bubi
Nabolon. Dalam konteks religius, Ompu ditujukan untuk hal yang dianggap kudus.
Para dewa dan hal-hal supernatural termasuk Allah Tinggi disebut Ompung. Gelar
Ompung adalah gelar terluhur dan tertinggi. Keluhuran dan kemuliaan Mulajadi
Nabolon itu tampak dalam ungkapan: “Ho, ale Ompung, Mulajadi Nabolon, na hundul
di tatuan, di ginjang ni ginjangan, di langit ni langitan.”
E.
Debata Asi-asi
Debata Asi-asi (
Manuk-Manuk Hulambu jati atau Raja Pinang Habo ) adalah mahluk pertama yang
diciptakan oleh Debata Mulajadi Nabolon, berparuh besi berkuku gelang yang
berkilauan. Mengenai bentuknya, seperti kupu-kupu yang sangat besar dan
mempunyai telur seperti periuk yang sangat besar, wajahnya seperti sarung
bintang Rumariri. Kemudian kepada Debata Asi-asi, Mulajadi Nabolon pernah
bersabda bahwa Debata Asi-asi ditakdirkan hanya bisa menerima segala kata-kata
dari manusia. Memberkati manusia supaya selalu bergondang. Bila yang diinginkan
gondang Debata Guru maka baju yang di gunakan harus berwarna hitam, Jika yang
diinginkan gondang Debata Sori baju yang digunakan harus berwarna putih dan
jika yang diinginkan gondang Debata Bulan maka baju yang digunakan harus
berwarna merah. Biasanya permintaan atau ritual tersebut diatas dilaksanakan
satu kali dalam setahun. Namun bukan dalam hal ini saja setiap manusia selalu
membutuhkannya, tetapi dalam segala hal yang diperlukan. Dan apabila suatu hari
nanti ada manusia yang bungkuk, yang buta, yang tuli, yang satu tangan dan yang
satu kaki, maka mereka adalah golongan dari orang-orang yang menghinanya,
tetapi apabila ada anak satu-satunya yang bersedih hati, manusia yang banyak
keturunan, raja dan panglima maka mereka adalah orang-orang yang selalu
bersyukur dan memanggilnya, sebab apa dan bagaimanapun manusia adalah titisannya.
F.
Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi.
Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam
semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih
rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui
oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti
maha guru yang memberi ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan
penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10).
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita
dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar
untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng
di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua
suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain.
Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak
ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi
Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa
tersebut mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang)
Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon
menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan
pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan
bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso
sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud
dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak”
itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah
meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang
sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas
sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat
Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati,
dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan
dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa
dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh
perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang
dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat
disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya
Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala
yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang
menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara
terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula
dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada
daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak
sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang
Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah
kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang
mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi
pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun.
Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan
antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan
hasangapon. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di
dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang
penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana
seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang
bisa diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada
nilainilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon
(kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia
adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan
kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi
seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur
hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting
untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari
usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati
sanak saudaranya dan marga yang dia miliki.
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang
Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian
kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang
yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena
memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk
mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai
hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai
harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak
beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang
tinggi akan mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil,
sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan
kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan
dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat,
dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa
masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati
posisi rendah dibanding laki-laki.
E.
Norma Kebiasaan
6. Martutuaek
(kelahiran)
4) Upacara
menjelang kelahiran
Manusia berada di kandungan selama sembilan namun menurut keyakinan suku
batak pada zaman dahulu apalagi khususnya dengan ugamo malim, terjadinya
manusia menjalani rentan waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu
hanya sembuilan bulan, dan munurut orang batak selama tiga bulan lagi berada di
dalam kandungan ayahnya. Sebab jika tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya
selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak mengandung.
Keyakinan
suku batak terhadap kodrat kandungan pada zaman dahulu yaitu :
Bulan 1 : benih tiga bulan dalam kandungan ayah. Benih kejadian ada pada ibu. Roh dan Rohani bercampur dengan roh jasmani ditambah kodrat Mulajadi berdiam di bumi suci rahim ibu.
Bulan 1 : benih tiga bulan dalam kandungan ayah. Benih kejadian ada pada ibu. Roh dan Rohani bercampur dengan roh jasmani ditambah kodrat Mulajadi berdiam di bumi suci rahim ibu.
Bulan 2 : telah
bertambah Debata Natolu di bumi suci dimana mendapat getaran, dan jika sudah
ketemu maka akan terbentuk, hal ini terjadi sampai bulan ke empat.
Bulan 5 : pada bulan kelima, terjadilah proses terbentuknya otak manusia dalam bumi suci.
Bulan 5 : pada bulan kelima, terjadilah proses terbentuknya otak manusia dalam bumi suci.
Bulan 6: prosesbulan
keenam adalah proses terjadinya urat manusia dan sudah mulai bergerak.
Bulan 7: pada bulan
ketujuh adalah proses terjadinya tulang.
Bulan 8: pada bulan
kedelapan bayi sudah hamper rampung dan sudah mulai bolak-balik seta mulai
terjadinya rambut.
Bulan 9:
proses
pemisahan air ketuban
proses
pemisahan bungkus
proses
pemisahan tali-tali
proses pemisahan
darah pengiring maut dan tinggal menunggu hari lahirnya.
Setelah sembilan bulan dalam kandungan maka bayi tersebut mulai berputar,
selama tujuh hari. Tiba pada hari ketujuh setelah bayi tersebut berputar
sebayak tujuh kali, maka pintu bumi pun terbuka dan bayi tersebut keluar dan
kemudian menangis memulai hidup ke zaman ini.
Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan saumi istri
jangan dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit
batuk-batuk, dan cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala
yang diinginkan sebaiknya harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si
anak yang akan lahir di kemudian hari akan terkendala dalam mencari hidup”.
Sebelum si ibu melahirkan, sebaiknya orang tua dari si ibu memberikan makanan
adat batak berupa ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan agar si ibu
sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak
yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara .
Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil Sibaso
(dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk
melahirkan yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih
dahulu didoakan kemudian dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu
untuk ditelan. Daun ubi rambat dan daun bunga raya direbus beserta air dari
pancuran disaring lalu diminumkan kepada si ibu mengarah ke bawah.
5) Upacara Saat
Terjadi Kelahiran
Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang akan
lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara
demonstrative walaupun kelahiean itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu
dilakukan di depan rumahnya dengan menuimbulkan suaa keras dan jendela rumah
pun dibuka lebar-lebar dan asap pun membubung dari perapian dapur. Inilah yang
menjadi tanda bahwa ada terjadi kelahiran, sehingga warga kampung merasa
terpanggil untuk melihat kebahagiaan tersebut.
Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu,
lalu sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan
beralaskan buah ubi rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman
ari-ari bayi pada orang batak biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama
hidup hanya satu kali kita bisa lihat wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku
batak meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau saudara dari anak yang baru
lahir dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari itu harus
dijaga dengan baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok
kecil yang diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut,
dan tujuh lembar daun sirih.
Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan mengunyahnya
dan kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan membersihkan kotoran yang
dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan dalam saluran pencernaan
makanan yang pertama yang disebut Tilan (kotoran pertama), bahkan siduku
memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam, bersama Soit (sebuah
anyaman kalu7ng yang terdapat dari sebuah kayu) dan hurungan Tondi (buah kayu
yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak kayu yang bertuliskan tulisan batak.
Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan
angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut terus
menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk memotong pusar
tadi, yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.
6) Upacara
setelah kelahiran
Mangirdak :dalam suku
batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan baik
dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang
harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede
menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai
rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan
ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan
istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung
adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari
orangtua si perempuan dalam memberikan semangat.
Pemberian
Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan
selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si
putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna
spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini
dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja
mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.
Mengharoani: sesudah
lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan
bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan
istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya
dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang
akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah
yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan
juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.
Martutu Aek:
pada hari
ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur dan dimandikan dan
dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta Martutu
Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah
ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu
matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama
dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka.
Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan
kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak,
yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus ini, keluarga
menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga
yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur untuk
menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus meminta
agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya
dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada
zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah symbol
pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan
membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di
pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan
sukacitanya. Pada acara marhata sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi.
Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa bila ada
pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja . Namun pada saat
pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar karena keluarga
meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak menyetujui nama
yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama
itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan kepada
tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada
dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh
yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.
Mengallang
Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai kebahagiaan yang luar biasa
dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan memotong ayam dan
memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah
malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu
dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat
kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian
ibu-ibu sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga
bagian dari Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan).
Kalau didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini
biasanya hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur
labu siam dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan
sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas
kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau
”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan
ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah
melahirkan tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah.
Makna spiritualitas yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap
warga yang sekampung dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung
tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.
Selain
jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit atau Marambit (harafiahnya
berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang diadakan keluarga untuk menyambut
kelahiran si bayi dengan memotong babi). Pada kesempatan inilah keluarga dapat
menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar
menghadiahkan sepetak tanah yang disebut indahan arian (makan siang) kepada
cucunya ataupun pemberian seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni
ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang
dapat dibagi-bagikan semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.
Mebat atau
Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka keluarga pun
memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau melawat (mebat,mengebati) kepada
ompungnya (terutama ompungbao) dan keluarga lain seperti tulang. Ketika melakukan
kunjungan, keluarga ini membawa makanan (memotong seekor babi) kepada ompung si
bayi. Pada kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos parompa (ulos kecil
untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen batak
modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan sebab
makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara
emosional kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal inilah yang
menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.
Paias Rere: ada kalanya
suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung mertuanya dan melahirkan anak
disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu, keluarga mengadakan jamuan paias rere
(membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima kasih atas kesibukan
mertua dalam mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen batak modern
yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere
ini harus dikritisi dan diberi makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima
kasih. Sebab bagi kita anak laki-laki dan perempuan sama saja. Inilah yang
menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Paias Rere.
Ulos
Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao kepada cucunya. Pada
zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan untuk
menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekaranfg dalam prakteknya
ulos parompa tinggal merupakan symbol kasih ompungbao sebab komunitas batak
modern sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau
ayunan untuk menggendong bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama
di kota-kota untuk mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi
seolah-olah semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru
lahir. Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas
yang terkandung dalam pemberian ulos parompa adalah menunjukkan kedekatan atau
perhatian yang besar dari ompungbao kepada si anak yang lahir itu.
Dugu-dugu: sebuah
makanan cirri khas batak pada saat melahirkan, yang diresep dari bangun-bangun,
daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini bertujuan untuk mengembalikan
peredaran urat bagi si ibu yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor bagi
ibu yang melahirkan, menambah dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus
memberikan kekuatan melalui asi kepada anknya.
Dasar Hukum Martutuaek
1)
Setelah bayi
yang lahir genap erumur satu bulan, barulah boleh ditabalkan namanya dalam
suatu upacara yang ditentukan waktunya.
2)
Ibadat ini
dilaksanakan dengan persembahan dupa dan pangurason
yang berisi dua buah jeruk purut. Selain itu ada kain putih yang melambangkan
kesucian.
3)
Tidak boleh
dibawa bayi yang baru lahir itu ke mata air sebelum dilaksanakan upacara martutuaek.
4)
Apabila
keadaan waktu yang membuat terpaksa anak itu dibawa bepergian dan kebetulan
pula melewati mata air, maka pada waktu pemberian namanya, sia anak tidak perlu
lagi dibawa ke mata air untuk memandikannya.
5)
Tidak ada
alasan kemiskinan untuk tidak mentaati aturan agama Malim (martutuaek), telah tertulis dalam pustaha habonoron (sumber hukum)
yang berbunyi “nipisna mantet
neangna, hapalna mantet dokna”
artinya dilaksanakan sesuai kemampuan.
6)
Semua
upacara agama yang merupakan aturan (ibadat dalam agama Malim) harus dipimpin
oleh pemimpin ritual (ihutan atau wakilnya) kecuali upacara Mararisabtu.
7. Pasahat
Tondi (kematian)
Pada
masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah
unik dan sangat khas. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan
usia dan status orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih
dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat
(langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate
poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja
(mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate
ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya
ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum
dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal
dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung,
ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang
meninggal.
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang
yang mati:
1.
Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu),
2.
Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya
yang masih kecil (mate
mangkar),
3.
Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan
sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon),
4.
Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum
menikah (mate sari matua),
dan
5.
Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya
(mate saur matua).
Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki
keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena
kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi
dari banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur
sebagai objek pemujaan (Soejono,1984:24).
Mate Saur matua
menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat Batak
(terkhusus Batak Toba), karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga.
Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung
(mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan
tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan)
(Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal
(meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk
orang yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang
meninggal tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan
ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat
meninggalnya memang dikarenakan proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak
akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang meninggal dalam status saur matua,
hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/LUNAS. Dalam masyarakat Batak,
hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang
itu LUNAS, maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.
Masyarakat Batak biasanya mengadakan acara seperti acara pernikahan,
dengan menampilkan alat musik berupa organ untuk bernyanyi, makan makan seperti
menyembelih hewan, minum minuman tradisional seperti tuak. Alat musik organ
digunakan di daerah perantauan umumnya, namun di daerah aslinya, Sumatera
Utara, gondang sebagai alat musik khas Bataklah yang digunakan. Ini semata-mata
karena alat musik gondag yang sulit ditemukan di daerah perantauan. Untuk peyembelihan
hewan, juga ada kekhasannya. Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya
simbol tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang meninggal
dalam status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan disembelih oleh
keluarga Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang meninggal
terbilang sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang disembelih,
maka anggapan orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih positif,
yang berarti anak-anak yang ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan
sana.
Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera
mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak
kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan
natolu. Dalihan
natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari
tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri),
pihak dongan tubu
(kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang
dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga
perempuan pihak ayah). Martonggo
raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka,
pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir
sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam
penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara,
lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara
dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan
peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta
pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara,
dsb.
Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya
diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki dari pihak isteri) telah
hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering terpaksa
berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu
kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat
dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum
dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi
dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti
masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan
pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah
duka).
Jenazah yang telah dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di
tengah-tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke
pintu keluar rumah. Di sebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki
dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan di sebelah kiri adalah
anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Di sinilah
dimulai rangkaian upacara saur
matua. Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah
datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan
pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa
nasi dengan lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh
para parhobas
(orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah
jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama).
Jambar terdiri
dari empat jenis berupa : juhut
(daging), hepeng
(uang), tor-tor
(tari), dan hata
(berbicara) (Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan
hak dari jambar
sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar
hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Namun bagi
keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Selepas ritus pembagian jambar
juhut, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan
kata penghiburan kepada anak-anak orang yang meninggal saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata
dimulai dari hula-hula,
dilanjutkan dengan dongan
sahuta, kemudian boru
/ bere, dan
terakhir dongan sabutuha.
Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus
manortor
(menarikan tarian tor-tor).
Tor-tor adalah
tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat
musik tradisional khas Batak). Gondang
sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak, terdiri dari
seperangkat instrumen yakni : 4 ogung,
1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1 gondang, 1 sarune.
Setelah jambar tor-tor
dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai
balasan pihak hasuhuton
kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya
upacara. Setiap peralihan mangampu
dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor
dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri
upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri
dengan menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat).
Ibadah bisa dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi
perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka
sebelum peti dimasukkan ke dalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya),
ibadah singkat dilaksanakan (berdoa), barulah jenazah yang sudah di dalam peti
yang tertutup dikuburkan.
Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus
memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan)
untuk diberikan kepada pihak hula-hula.
Namun mengenai adat ungkap
hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini.
Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap
hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun
yang akan diberikan untuk ungkap
hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah
membawa rasa senang pada pihak
hula-hula.
Ini adalah bagian dari ritual kematian adat Batak, khususnya Batak Toba.
Memang unik, tetapi itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti prosesi
ini sendiri. Kematian yang seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda
tawa dan riuhnya pesta pakai musik, layaknya pesta pernikahan, hanya jika
mendiang meninggal dalam status SAUR MATUA tadi. Ya, ini memang adatnya, kita
tidak mungkin menolak ataupun menentangnya. Tetapi saya bangga memiliki
budaya seperti ini, penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di dunia ini.
Dasar Hukum Pasahat Tondi
a.
Tidak boleh menangisi bahkan meratapi orang yang
sedang sakit sekarat serta orang yang sudah meninggal dunia. Hal itu akan
berakibat terhambatnya ruhnya menghadap Debata.
b.
Tidak boleh makan di rumah keluarga si mayat selama
jenazah itu belum dikuburkan.
c.
Terlebih dahulu tanah kuburan disucikan dan diberitahu
kepada Nagapadohaniaji sebelum tanah itu digali.
d.
Jenazah harus dimandikan sampai bersih dengan
beralaskan kain putih. Apabila sudah bersih, maka jenazah itu dibalut dengan
kai putih dan baru kemudian dimasukkan ke dalam peti jenazah.
e.
Apabila sudah didoakan agar dihapuskan dosa-dosanya,
jenazah disucikan kembali. Barulah kemudian peti jenazah itu boleh ditutup dan
dibawa ke kuburan.
f.
Selama tujuh hari dan tujuh malam, rumah tempat
persemayaman mayat harus isucikan.
·
Adab
terhadap Jenazah
Jika yang
meninggal anak kecil,hukumnya harus segera dikebumikan, tetapi jika yang
meninggal itu orang dewasa, atau lansia maka boleh saja disemayamkan lebih lama
selama tiga hari batas maksimalnya. Dikarenakan supaya kerabat yang dari jauh
atau merantau atau yang sedang bepergian dapat melihat jenazah untuk yang
terakhir kalinya.
8.
Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
Secara harfiah, mardebata bermakna “menyembah Debata” menurut istilah
adalah, upacara penyembahan kepada Debata dengan perantaraan sesaji yang bersih
yang diantarkan melalui bunyi-bunyian gendang selengkapnya (gondang sebangunan) atau gendang kecapi
(gondang hasapi).[2][27]
Dasar Hukum Mardebata
3)
Barangsiapa yang lupa tentang patik
patuan Raja Malim (Raja Nasiakbagi) harus ditegakkannya sebuah langgatan atau podium yang didalamnya
berisikan sebuah sitompion. Bersamaan
dengan itu harus dipergelarkan gondang sabangunan dan disediakan juga ayam jantan
dan betina, kambing putih serta lembu stio-tio.
4)
Ada upacara mardebata yang sifatnya sebagai ungkapan
rasa syukur atas berkat dari Debata.
9.
Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit)
Arti mangan na paet dalam bahasa
Batak adalah “memakan yang pahit” , sedangkan meruut istilah adalah suatu
aturan (ibadat) yang wajib diamalkan oleh setiap warga parmalim pada setiap
akhir tahun.
Dasar Hukum Mangan Na Paet
6)
Apabila sudah tiba diujung tahun, tepatnya pada hari
29 dan 12 menurut kalender Batak diharuskan warga parmalim untuk berkumpul di
Bale Pasogit Partonggoan (di pusat) atau
di Bale Parsantian (di Cabang0 untuk beribadat dengan tujuan “menebus dosa”
7)
Harus diyakini bahwa memang pahit rasanya akibat dari
dosa yang sudah dilakukan mulai dari pangkal tahun hingga ujung tahun.
8)
Disebabkan penderitaan yang dialami dan juga dosa yang
diperbuat sehingga yang pahit itu suatu bukti kesungguhan hati (menebus dosa
dan bertaubat) dalam ibadat mangan na
paet.
9)
Tidak boleh memakan segala yang dapat mengenyangkan
perut dan mengerjakan “keinginan diri” termasuk hasrat seksual selama
menjalankan ibadat.
10)
5). Orang yang sudah menebus dosa
meskipun tidak disaksikan oleh orang lain dan menegakkan amal didalam kesucian
tuhan, yakinlah pada hari esok ia akan mendapatkan kehidupan tondi dan sedikitpun tak merasa takut
akan cobaan dan ujian yang akan datang.
10. Upacara Mamasumasu
(Memberkati Perkawinan)
4)
Apabila hendak kawin dengan anak parmalim, maka dari
pihak anak perempuan harus memberikan dua belas rupiah, sedangkan dari pihak
anak laki-laki sebanyak enam rupiah sebagai wujud gambaran adat yang keduanya
diletakkan diatas parbuesanti.
5)
Apabila hanya pengantin perempuan yang anggota
parmalim, sedang pengantin laki-laki bukan berasal dari agama Malim sementara
mereka berdua harus dinikahkan dengan tata cara agama Malim, maka untuk ini
pengantin laki-laki harus lebih dulu masuk menjadi penganut agama Malim dengan
memberikan persyaratan yaitu memberikan uang dua rupiah dan kain putih tujuh
hasta yang diletakkan diatas parbuesanti.
6)
Apabila pengantin laki-laki saja yang hanya penganut
agama Malim sedangkan pengantin perempuan berasal dari penganut agama lain,
sementara tata cara perkawinan bersikeras dinikahkan menurut agama Malim, maka
perempuan harus lebih dulu memberikan pengakuan lisan menjadi penganut agama
Malim.
F.
Norma Kesopanan
Didalam budaya Batak yang turun temurun sampai saat ini dan selalu
dilaksanakan adalah soal perjodohan, dimana banyak hubungan antara sesama orang
batak yang semarga ataupun berlainan marga dan berlainan rumpun marga tidak
boleh saling menikah, hal ini dilakukan karena peraturan adat yang masih
berlaku.
Dalam Suku
batak hal ini adalah peraturan, yang terkait erat dengan hukum dalihan na tolu
yaitu
1.
Somba Marhula-hula
2.
Manat Mardongan Tubu
3.
Elek Marboru
Maksud dan tujuan dari aturan ini di berlakukan agar jangan terjadi
simpang siur struktur kedudukan antara sesama orang batak dalam adat.
Di dalam adat
Batak hubungan kekerabatan yang tidak boleh saling menikahi antaralain adalah :
4.
Saudara Kandung, yaitu Anak laki-laki dan anak
perempuan dari satu ibu dan Bapak tidak boleh saling menikah.
5.
Anak laki-laki dan anak perempuan keturunan saudara
kandung laki-laki dari orang tua laki-laki tidak boleh saling menikahi.
6.
Laki-laki dan perempuan satu marga tidak boleh saling
menikah walaupun bukan saudara kandung laki-laki dari orang tua laki-laki.
7.
Laki-laki dan perempuan dalam satu rumpun marga,
misalnya walaupun mereka berbeda marga tapi dalam satu rumpun marga contohnya,
Sihaloho dengan Situngkir dll, karena dari satu rumpun Silalahi Sabungan tidak
bisa saling menikah.
8.
Anak laki-laki dan perempuan keturunan saudara
perempuan dari orang tua perempuan tidak boleh saling menikahi (Keturunan dari
Inang uda atau Inang tua marpariban).
9.
Anak laki-laki dan perempuan yang marganya marpadan
dengan satu marga, maksud marpadan adalah ikatan satu marga dengan marga lain
menjadi ikatan saudara yang di lakukan oleh leluhur dahulu.
10. Anak
laki-laki dari orang tua laki-laki tidak boleh mengawini anak perempuan dari
keturunan saudara perempuannya (Anak laki-laki tidak boleh menikahi anak
perempuan Namboru kandung), sebaliknya anak laki-laki dari saudara bapak
perempuan boleh menikahi anak perempuan saudara laki-lakinya (Anak namboru
laki-laki boleh menikahi anak tulangnya yang di sebut Pariban)
11. Anak
laki-laki tidak boleh mengambil atau menikahi anak perempuan dari keturunan
tulangnya oarang tua perempuan yang disebut tulang rorobot. (Dalam hal ini
bukan berarti tidak boleh menikahi perempuan dari marga yang sama dengan marga
tulang rorobot) dikenal dalam bahasa batak Pariban an so boi diolihon.
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak
yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan
hidup dari marga lain selain marganya.
Bila ada yang menikah dengan satu marga, dia sudah melanggar adat. Dan
akan dapat sanksi dari kepala adat yg bersangkutan. Bila sudah terjadi, akan
terjadi suatu musibah di dalam hidupnya akibat melanggar peraturan adat batak
tersebut.
Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (alias membeli marga). Dalam hal membeli marga, seseorang tersebut membuat acara untuk membeli marga, mengundang ketua adat dan raja-raja adat.
Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (alias membeli marga). Dalam hal membeli marga, seseorang tersebut membuat acara untuk membeli marga, mengundang ketua adat dan raja-raja adat.
3) Sistem Kekerabatan (Partuturan)
Sistem kekerabatan dalam masyarakat
Batak Toba, termasuk hal yang sangat penting dan berperan banyak dalam menuntun
perilaku hidupnya sehari-hari. Dengan ikatan aturan system kekerabatan itu
masyarakat batak dapat hidup dalam bimbingan sopan santun, berdedikasi, bertanggungjawab.
Dengan tutur sapa kekerabatan, masyarakat batak bias berbicara lebih sopan,
lebih beradab dan berbudaya. Oleh karena itu, dalam masyarakat batak toba,
dalam bertutur kata dan memanggil sapaan seseorang tidaklah sembarangan. Karena
sudah ada sapaan panggilan terhadap orang lain maupun kerabat keluarga,
diantaranya
D.
Tutur-Sapa Awal
Saat kita bertemu dengan seseorang yang
belum kita kenal dengan baikl, maka unutk berkomunikasi dengan beliau,
hendaklah digunakan Tutur sapa awal sebagai berikut ;
10.
Ompung,bagi seseorang Orangtua yang
memang sudah tua; orang tua dari orangtua kita. Dalam artinya bahasa Indonesia
ialah Kakek atau Nenek.
11.
Amang, bagi seorang bapak ( Ayah )
12.
Inang, bagi seorang Ibu
13.
Tulang, kepada Orangtua yang satu marga
dengan Ibu kita
14.
Bapa Uda, kepada orangtua yang satu
marga dengan Ayah kita
15.
Lae, bagi sesame laki-laki yang sebaya
kita (khusus buat laki-laki)
16.
Ito, seseorang perempuan yang sebaya
dengan kita
17.
Ampara, bagi sesama laki-laki yang satu
marga dengan kita
18.
Eda, bagi sesama wanita yang umurnya
sebaya
E.
Tutur-Sapa yang paling
akrab
- NAMBORU
Kakak atau adik
perempuan dari Ayah kita. Baik sebelum beliau menikah maupun sesudahnya.
Namboru merupakan seorang teman yang paling sesuai. Seorang remaja lelaki, akan
sangat berceloteh kepada berbagai macam hal kepada Namborunya. Bicara seenaknya
saja, dan tidak ada rasa sungkan, dan tidak akan dihantui oleh rasa marah.
- INANG
BAJU
Adik (masih
belum menikah) dari Ibu kita. Tempat mencurahkan perasaan. Biasanya wanita
lebih suka cerita kepada Inang baju daripada Namborunya.
- PARIBAN
( BORU NI TULANG)
Semua
anak gadis dari Tulang kita. Kita pasti cepat akrab. Zaman dahulu, umumnya boru
ni tulang dianggap sebagai bakal istri.
F.
Tutur-Sapa yang
berpantangan (Parsubangon)
Dalam bahasa batak, subang berarti
pantang. Dan sesuai aturan baku masyarakat batak toba, terdapat 5 macam tutur
sapa yang ditetapkan sebagai hal yang harus dijaga dengan hati-hati dan penuh
rasa hormat.
Bagi sebahagian masyarakat batak toba
yang sudah maju sekarang, bias saja mengganggap aturan ini sebagai hal yang
menggelikan. Akan tetapi, aturan baku ini telah membina hidup masyarakat batak
toba dengan etika keluarga yang baik, berguna untuk menumbuhkan rasa segan dan
rasa saling hormat-menghormati.
Inilah
tutur sapa yang berpantangan tersebut
- Namarbao
yaitu antara
kita sendiri dengan hula-hula kita (yang perempuan). Kita harus menyapa beliau
dengan kata INANG dengan penuh rasa hormat dan segan. Lebih segan dan hormat
daripada memanggil inang kepada Ibu yang lain. Bahkan harus ditambahi dengan “halaki
nang bao, atau halak ina ta”. Tujuanny auntuk menunjukkan rasa hormat kepada
beliau. Tidak boleh berbicara berduaan, atau berdekatan, apalagi sampai
senggolan. Itu amat dipantangkan. Tidak perlu menyalam langsung tangan beliau,
cukup menundukkan kepaladan berucap : “horas ma ninna hamu inang,”.
Tidak boleh duduk berhadapan seberang meja.
- Namaranggi boru
yaitu terhadap
Isteri dari adik kita Laki-laki. Sama dengan NAMARBAO, tidak boleh disebut
namanya, jangan senggolan, jangan duduk berdekatan atau langsung
berhadap-hadapan. Namun Isteri kita sering menjadi dekat dengan beliau.
- Namarhahadoli
Tutur sapa yang
digunakan isteri adik laki-laki kita sendiri kepada kita. Sama dengan nomor 2.
- Marparumaen
Isteri
dari putera kita. Tidak boleh langsung
ditegur, dipanggil atau disuruh. Karena bila seseorang sudah menjadi
mantu, itu berarti harkat kemanusiaan kita sedang menuju sempurna. Sebentar
lagi kita sudah punya cucu, satu kebanggaan yang sangat diidamba. Pantangan
hampir sama dengan yang diatas. Tidak boleh senggolan, berbicaralah hendaklah
segan, tidak sembarangan ataupun bercanda. Pada zaman dahulu cara penyampaian
pesan nya begini “ santabbi tiang, haru patu hamu ma sipanganonta di meja I,
nunga male iba “ artinya Permisi tiang, kamu buatkanlah nasi di meja itu, saya
sudah lapar”. Jadi tianglah yang menjadi alat untuk menyampaikan pesan tersebut
agar tidak berkomunikasi langsung.
- Namarsimatua
Tutur sapa dari
si mantu kepada mertua. Tetap saja tidak boleh langsung bicara. Karena itu sang
mantu hendaknya segera sigap melaksanakan tugasnya di rumah. Jangan sampai ada
perintah dari mertua
4) Sastra Kebijaksanaan Batak
A.
Berkaitan dengan
Penderitaan Manusia
·
Nunga bosur soala ni mangan
·
Mahap soala ni minum
·
Bosur ala ni sitaonon
·
Mahap ala ni sidangolon
Arti harafiah dan leksikal
: Sudah kenyang bukan karena makan Puas bukan karena minum Kenyang karena
penderitaan Puas karena kesedihan/dukacita
Sedangkan arti dan makna terdalam
: Syair pantun ini mengungkapkan keluhan manusia atas penderitaan yang berkepanjangan
yang menyebabkan keputusasaan. Penderitaan sering dianggap sebagai takdir.
Takdir ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Allah orang Batak Toba) harus
diterima dengan pasrah saja. Ada orang yang menyerah saja pada penderitaan dan
menjadi apatis. Namun untuk sebagian orang takdir dilihat sebagai sarana
pendidikan, yakni mendidik untuk tabah menghadapi segala cobaan hidup,
menyingkirkan sifat sombong dan sekaligus menanamkan rasa patuh kepada orang
tua, raja, hula-hula (kerabat keluarga), nenek moyang dan Debata Mulajadi Na
Bolon.
Jenis pantun ini ialah
“pantun andung” (pantun tangisan) pada penderitaan. Pantun ini diungkapkan pada
waktu mengalami penderitaan (kesedihan dan duka cita), misalnya pada saat
kematian orang tua, sahabat dan famili.
B.
Berkaitan dengan
Nasihat dan Larangan Melakukan Perzinahan :
·
Silaklak ni dandorung
·
Tu dangka ni sila-sila
·
Ndang iba jumonokjonok
·
Tu na so oroan niba
Arti
harafiah dan leksikal :
·
Kulit kayu dandorung
·
Ke dahan kayu silasila
·
Dilarang mendekati perempuan/wanita
·
Jika tidak istri sendiri
Arti terdalam : Dua baris
terakhir dari syair pantun di atas menasehatkan kepada semua pria agar tidak
mendekati seorang perempuan/wanita yang tidak istrinya. Nasehat ini merupakan
usaha untuk menghindari tindakan perzinahan dan sekaligus merupakan larangan
untuk tidak melakukan perzinahan. Seorang laki-laki yang mendekati perempuan
yang bukan istrinya dan melakukan hubungan seksual disebut berzinah. Orang yang
melakukan perzinahan dihukum dan terkutuk hidupnya.
Jenis Sastra :
Pepatah nasehat ini digolongkan ke dalam pantun nasehat atau pepatah nasehat
(Batak: umpama etika hahormaton, adat dohot uhum). Pepatah ini digunakan pada
kesempatan pesta adat, pesta perkawinan, dan pada hari-hari biasa serta pada
kesempatan yang biasa juga. Juga sering diungkapkan pada waktu diadakan
musyawarah kampung karena adanya tindakan pelanggaran perkawinan. Biasanya
orang yang berzinah dihukum secara adat.
C.
Berkaitan
dengan Etika Kesopanan (sopan santun) :
”
Pantun hangoluan, tois hamatean!”
Arti harafiah dan leksikal :
Sikap hormat dan ramah mendatangkan kehidupan dankebaikan; sikap ceroboh atau
sombong (tidak tahu adat) membawa kematian/malapetaka.
Arti terdalam :
sopan santun, sikap hormat dan ramah tamah akan membuahkan hidup yang mulia dan
bahagia (baik), sedangkan sikap ceroboh dan sombong (angkuh) akan menyebabkan
kematian, penderitaan, malapetaka dalam hidup seseorang. Pada umumnya orang
yang sopan memiliki banyak teman yang setia, ke mana dia pergi selalu mendapat
perlindungan dan sambutan dari orang yang dijumpainya. Sedangkan orang yang
ceroboh dan sombong sulit mendapat teman bahkan sering mendapat lawan dan
musuhnya banyak. Yang seharusnya kawan pun menjadi lawan bagi orang yang
seperti ini.
Jenisnya dan digunakan pada kesempatan :
Sastra ini tergolong dalam pepatah (Batak: umpama) nasehat. Pepatah etika sopan
santun. Biasanya digunakan pada kesempatan memberangkatkan anak, famili atau
sahabat yang hendak pergi ke perantauan. Dan pepatah ini digunakan sebagai
nasehat orang-orang tua kepada anakanaknya.
D.
Berkaitan
dengan “Janji atau nazar” yang harus ditepati:
·
Pat ni satua
·
Tu pat ni lote
·
Mago ma panguba
·
Mamora na niose
Arti
harafiah dan leksikal :
·
Kaki tikus
·
Ke kaki burung puyuh
·
Lenyap/hilanglah si pengingkar janji
·
Dan kayalah yang diingkari
Arti terdalam : seorang yang
mengingkari janji, apalagi sering-sering mengingkari akan hilang lenyap (mati)
karena tindakannya dan orang yang diingkari akan menjadi kaya. Orang yang
mengingkari janji dikutuk dan ditolak oleh masyarakat umum, sedangkan orang yag
diingkari mendapat penghiburan dan pengharapan yang baik dari sang pemberi
rahmat. Dia akan menjadi kaya dalam hidupnya. Padan adalah janji atau
perjanjian, ikrar yang disepakati oleh orang yang berjanji. Akibat dari
pelanggaran padan lebih daripada hukum badan, karena ganjaran atas pelanggaran
padan (janji) tidak hanya ditanggung oleh sipelanggar janji (padan), tetapi
juga sampai pada generasi-keturunan berikutnya. Ada unsur kepercayaan kutukan
di dalamnya. Padan bersifat pribadi dan rahasia, diucapkan tanpa saksi atau
dengan saksi. Jika padan diucapkan pada waktu malam maka saksinya ialah bulan
maka disebut padan marbulan. Dan jika diucapkan pada siang hari saksinya ialah
hari dan matahari disebut padan marwari. Nilai menepati janji cukup kuat pada
orang Toba. Ini mungkin ada kaitannya dengan budaya padan yang menyatakan
perbuatan ingkar janji merupakan yang terkutuk.
Jenis pantun dan digunakan pada kesempatan :
pantun ini tergolong ke dalam pepatah (Batak : umpama) nasehat kepada orang
yang berjanji (Batak: marpadan). Pepatah ini digunakan pada kesempatan ketika
menasehati orang yang sering menginkari janji. Pada upacara adat terjadi
pembicaraan dan berkaitan dengan pengadaan perjanjian. Nasehat ini diberikan
dan disampaikan oleh orang tua dari kalangan keluarga. Ini merupakan unsur
sosialisasi untuk mendidik orang Toba menjadi orang yang konsekuen dalam
bertindak.
E.
Berkaitan dengan
Kehidupan Sosial Masyarakat :
·
Ansimun sada holbung
·
Pege sangkarimpang
·
Manimbuk rap tu toru
·
Mangangkat rap tu ginjang
Arti
harafiah dan leksikal :
·
Mentimun satu kumpulan
·
Jahe satu rumpun batang
·
Serentak melompat ke bawah
·
Serentak melompat ke atas
Arti terdalam :
Umpama ini digunakan untuk kerabat sedarah dan dari satu keluarga (Batak:
dongan sabutuha). Pepatah ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung duka
dan derita, suka dan kegembiraan. Sejajar dengan ungkapan:”ringan sama
dijingjing, berat sama dipikul”. Dari ungkapan ini terbersit arti mendalam dari
kekerabatan yang dianut oleh orang Batak Toba. Kekerabatan mencakup hubungan
primordial suku, kasih sayang dipupuk atas dasar hubungan darah.Kerukunan
diusahakan atas dasar unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Hubungan antar manusia dalam
kehidupan orang BatakToba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu.
Hubungan ini telah disosialisasikan kepada generasi dari generasi ke generasi
berikutnya. Hubungan ini telah ditanamkan kepada anak sejak dia mulai mengenal
lingkungannya yang paling dekat, misalnya dengan orang tua, sanak saudara dan
kepada famili dekat. Pengertian marga dijelaskan dengan baik sesuai dengan kode
etik Dalihan Na Tolu. Tata cara kehidupan, cara bicara, adat-istiadat diatur
sesuai dengan kekerabatan atas dasar Dalihan Na Tolu itu.
Jenis sastra : tergolong dalam
kelompok pepatah (Batak: umpama). Dipakai pada kesempatan pesta pernikahan,
pesta adat dan pada waktu kemalangan. Pepatah ini digunakan sebagai nasehat
untuk pihak yang berpesta dan yang sedang kemalangan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Di dalam
kehidupan bermasyarakat Suku Batak diatur oleh norma-norma sosial. Norma-norma
sosial itu diantaranya norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan.
Dalam norma
keagamaan Suku Batak mempunyai suatu konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju
pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat
Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua
orang Batak harus mempunyai sahala.
Dalam norma kebiasaan di
suku Batak terdapat kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan yaitu Martutuaek (kelahiran), Pasahat Tondi
(kematian), Mardebata
(peribadatan atas niat seseorang), Upacara Mangan Na Paet
(Memakan yang Pahit), dan Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan).
Dalam norma kesopanan di Suku Batak terdapat sistem
kekerabatan (partuturan) dibagi menjadi 3, yaitu tutur-sapa awal,
tutur-sapa yang paling akrab, tutur-sapa yang berpantangan (parsubangon). Dan
sastra kebijaksanaan batak seperti
berkaitan dengan penderitaan manusia, nasihat dan larangan melakukan
perzinahan, etika kesopanan (sopan santun), dan janji atau nazar yang harus
ditepati, serta kehidupan sosial masyarakat
B.
Saran
Dengan membuat
makalah tentang norma sosial di lingkungan masyarakat Suku Batak ini diharapkan
dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai norma-norma di salah satu suku
Indonesia, terutama suku Batak. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan serta
pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar