Jumat, 16 November 2018

MAKALAH GOOD GOVERNANCE


MAKALAH GOOD GOVERNANCE




Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Kewarganegaraan Semester III

Disusun oleh:
Kelompok 8
1.     Nurdyah Ayu O.          (P1337420117002)
          2.     Helda Mutiara R.                   (P1337420117004)
3.     Aken Larasati               (P1337420117027)
        4.     Raya Tri S.                             (P1337420117040)
                                                Kelas : 1­-A1

PRODI D III KEPERAWATAN SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
2018


DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..............................................................................
i
DAFTAR ISI ..........................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
1
A.    Latar belakang .........................................................................
1
B.     Rumusan Masalah ...................................................................
1
C.     Tujuan Penulisan .....................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................
3
A.  Sejarah Suku Batak ..................................................................
3
B.  Unsur-Unsur Kebudayaan Batak ..............................................
3
1.      Religi .................................................................................
3
2.      Sistem Bahasa ....................................................................
7
3.      Adat istiadat dan kesenian .................................................
4.      Sistem IPTEK ....................................................................
5.      Organisasi Masyarakat ......................................................
6.      Sistem mata pencaharian ...................................................
7.      Ilmu Pengetahuan .............................................................
8.      Masakan Suku Batak ........................................................
10
38
39
41
44
44
BAB III PENUTUP................................................................................
48
1.      Simpulan ..................................................................................
48
2.      Saran ........................................................................................
48
DAFTAR PUSTAKA .…………………………………....…………….



BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Tujuan suatu negara tidak lain untuk mewujudkan masyarakat dengan kehidupan yang baik (Good Life), dimana yang terdapat dalam fungsi negara yaitu melaksanakan kepentingan rakyat dengan  norma yang berlaku untuk mewujudkan cita-cita negara. Masyarakat sebagai pelaksana dan tingkatan pemerintah negara sebagai pengelola sumber daya pembangunan. Terjadi berbagai permasalahan seperti krisis ekonomi di Indonesia antara lain menunjukkan tatacara penyelenggara pemerintah dalam mengelola sumber daya pembangunan yang tidak diatur dengan baik. Akibatnya menimbulkan masalah-masalah yang lain yang menyebabkan masyarakat menjadi terhambat dalam proses pengembangan ekonomi Indonesia, sehingga dampak negative seperti peningkatan penganguran, jumlah penduduk miskin yang bertambah, tingkat kesehatan yang menurun, dan bahkan konflik-konflik yang terjadi diberbagai daerah.
Penyelenggara pemerintah yang baik sangat dibutuhkan yang dimana menjadi landasan pembangunan dan pembuatan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Oleh karena itu tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat diminimalkan , dipecahkan dan juga dipulihkannya segala bidang dalam masyarakat agar dapat berjalan dengan baik dan lancar. Disadari, dalam mewujudkan tata pemerintahan membutuhkan waktu yang tidak singkat dan upaya yang didukung dari segala pihak dan dilakukan secara terus – menerus. Selain itu aparatur negara, pihak swasta dan masyarakat harus bersatu dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.

1. 2 Rumusan Masalah
1.2.1.      Apa pengertian dan latar belakang dari good governance?
1.2.2.      Bagaimana prinsip-prinsip dan konsepsi good governance?
1.2.3.      Bagaimana penerapan good governance di Indonesia?

1. 3 Tujuan Penulisan
1.3.1.      Mengetahui pengertian dan latar belakang dari good governance
1.3.2.      Mengetahui prinsip-prinsip good governance
1.3.3.      Mengetahui penerapan good governance di Indonesia




BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Pengertian Good Governance
Good Governance sebagai kriteria Negara-negara yang baik dan berhasil dalam pembangunan, bahkan dijadikan semacam kriteria untuk memperoleh kemampuan bantuan optimal dan Good Governance dianggap sebagai istilah standar untuk organisasi publik hanya dalam arti pemerintahan. Secara konseptual “good” dalam bahasa Indonesia “baik” dan “Governance” adalah “kepemerintahan”.
Menurut LAN (Lembaga Administrasi Negara) dalam Sedarmayanti (2008:130) mengemukakan arti good dalam good governance mengandung dua arti :
1.      Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan / kehendak rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
2.      Aspek-aspek fungsional dari pemerintahan efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Bintoro Tjokroamidjojo memandang Good Governance sebagai “Suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut sebagai administrasi pembangunan, yang menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi Agent of change dari suatu masyarakat berkembang atau  develoving didalam negara berkembang” efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domaindomain negara, sektor swasta, dan masyarakat.
Menurut Bank Dunia (World Bank), Good governance merupakan cara kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (Mardoto, 2009).
Menurut UNDP (United National Development Planning), Good governance merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu :
1.    Kesejahteraan rakyat (economic governance).
2.    Proses pengambilan keputusan (political governance).
3.    Tata laksana pelaksanaan kebijakan (administrative governance) (Prasetijo, 2009).
Berdasarkan uraian pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa good governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara berbagai sumber daya dalam negara, sektor swasta, dan masyarakat.

2. 2 Latar Belakang dari Good Governance
Lahirnya wacana good governance berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam praktek pemerintahan,seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat tidak transparan, nonpartisipatif serta sentralisasi , menumbuhkan rasa tidak percaya dikalangan masyarakat bahkan menimbulkan antipati terhadap pihak pemerintah. Masyarakat sangat tidak puas terhadap kinerja pemerintah yang selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Berbagai ketidakpuasan dan kekecewaan akhirnya melahirkan tuntutan dari masyarakat untuk mengembalikan dan melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang ideal, sehingga Good Governance tampil sebagai upaya untuk menjawab berbagai keluhan masyarakat atas kinerja birokrasi yang telah berlangsung.

2. 3 Prinsip-Prinsip Dasar Good Governance
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari:
1.      Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat
2.      Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3.      Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4.      Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
5.      Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
6.      Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
7.      Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Good governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep  dalam menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen profesionalnya maka diterapkan good corporate governance. Sehingga dikenal prinsip- prinsip utama dalam governance korporat yaitu:
1.      Transparansi
Berarti keterbukaan, yakni adanya sebuah sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan    eksternal dari korporasi.
2.      Akuntabilitas
Pertanggungjawaban secara bertingkat ke atas. Dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dam dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara luas diberikan oleh dewan komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara finansial.
3.      Fairness
Fairness agak sulit diterjemahkan, karena menyangkut keadilan dalam konteks moral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.
4.      Resposibilitas
5.      Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika  korporat, termasuk dalam hal ini etika professional dan etika manajerial.  
Prinsip-prinsip Good Governance di atas cenderung kepada dunia usaha, sedangkan bagi suatu organisasi public bahkan dalam skala Negara prinsip-prinsip tersebut lebih luas menurut UNDP melaui LAN yang dikutip Tangkilisan (2005:115) menyebutkna bahwa adanya hubungan sinergis dan kontruktif di antara Negara, sector swasta dan masyarakat disusun sembilan pokok karakteristik Good Governance yaitu:
1.      Partisipasi (Participation)
Setiap warga Negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung     maupun melalui   intermediasi   institusi   legitimasi   yang   mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2.      Penerapan Hukum (Fairness)
Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
3.      Transparansi (Transparency)
Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4.      Responsivitas (Responsiveness)
Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan harus mencoba untuk melayani setipa stakeholders.
5.      Orientasi (Consensus Orientation)
Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda  untuk memeproleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6.      Keadilan (Equity)
Semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7.      Efetivitas (Effectivness)
8.      Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunkan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
9.      Akuntabilitas (Accountability)
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, secor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada public dan lembaga-lembaga stakeholder. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan atau eksternal organisasi.
10.  Strategi Visi (Strategic Vision)
Para pemimpin dan public harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

2. 4 Mengkritisi Pelaksanaan Good Governance
Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan sinergi antar pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan, dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapaai good governance adalah adanya trasparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan Negara yang baik maka harus ada keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan. Konsep good governance dapat diartikan acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan social ekonomi yang baik.
Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance hampir banyak negara mengasumsikannya sebagai sebuah ideal type of governance, padahal konsep itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka membangun relasi negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.
Beberapa ahli malah tidak setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu bermuatan nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya, menurut Purwo Santoso (2002), adalah democratic governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang berasal dari (partisipasi), yang dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat. Konseptualisasi ini secara substantif tidak berbeda jauh dengan konseptualisasi good governance, hanya saja ia tidak memasukkan dimensi pasar dalam governance.
Kritik berikutnya terhadap good governance adalah kegagalannya dalam memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, secara kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, aktor tersebut adalah dunia internasional. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variable, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan lokal (akibat hegemoni terma “good” oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Secara konseptual keberhasilan penerapan good governance di berbagai dunia akan selayaknya juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti konkrit yang tidak bisa dipecahkan oleh good governance.
Bila kita memahami kembali kutipan bahwa Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB sepuluh tahun lalu, beliau dengan lantang telah mengkritik habis-habisan good governance yang dikatakannya sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik tersebut mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance (SG) yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah good governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda Sound Governance. Konsep Sound Governance merupakan konsep baru yang jauh lebih komprehensif dan reliable dalam menjawab kegagalan epistimologis dan solusi atas arus besar kesalah kaprahan dari good governance.
Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana Sound Governance. Pertama, dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance bahwa aktor kunci yang berperan adalah terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society), dan good governance selama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik. Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat aktor, yaitu inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional. Kedua, bermula dari kritik terhadap identitas dari good governance kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term “good” dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance mempunyai pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan. Berdasarkan apa yang disampaikan Ali Farazmand bahwa pentingnya sistem pemerintahan yang berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia (Andi,2007). Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya good governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem pemerintahan. Sound governance muncul untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman kebudayaan lokal dalam mewarnai konsep tata pemerintahan. Ketiga, dalam pelaksanaan good governance untuk berjalannya proses tata pemerintahan yang baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana pemerintahan harus menjalankan prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance yaitu: participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Sound Governance mempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada proses menuju tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana (prinsip-prinsip) dilakukan untuk mencapai tujuan. Kendati demikian di dalam sound governance masih menekankan perlunya prasyarat-prasyrat dasar universal terkait demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Untuk itu titik tekan dari sound governance adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan “inovasi” yang kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam praktek pemerintahan.
Berdasarkan uraian diatas bahwa Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance, yaitu memberikan makna term “Sound” menggantikan “Good” adalah dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound governance dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni term “good” oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan.

2. 5 Good Governance di Indonesia
Pada awal 2007, Komite Nasional Kebijakan Governance telah menyempurnakan Pedoman Umum Good Coorporate Governance (GCG) dan merintis pembuatan Pedoman Good Public Governance (Combined Code) yang pertama di Indonesia, dan mungkin bahkan di dunia. Ini merupakan sebuah terobosan dan bukti kepedulian terhadap penciptaan kondisi usaha yang lebih baik dan menjanjikan di Indonesia jika diterapkan dengan konsisten. Pemerintah melalui perangkatnya juga terlihat melakukan banyak pembenahan untuk memperbaiki citra pemerintah dan keseriusannya dalam meningkatkan praktik good public governance, melalui pemberdayaan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian telah cukup banyak temuan dan kasus yang diangkat ke permukaan dan diterapkan enforcement yang tegas.
Indonesia di tengah dinamika perkembangan global maupun nasional, saat ini menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan perhatian serius semua pihak. Good governance atau tata pemerintahan yang baik, merupakan bagian dari paradigma baru, yang berkembang dan, memberikan nuansa yang cukup mewarnai terutama pasca krisis multi dimensi, seiring dengan tuntutan era reformasi. Situasi dan kondisi ini menuntut adanya kepemimpinan nasional masa depan, yang diharapkan mampu menjawab tantangan bangsa Indonesia mendatang. Perkembangan situasi nasional dewasa ini, di cirirkan dengan tiga fenomena yang dihadapi, yaitu :
-                    Permasalahan yang semakin kompleks (multidimensi)
-                    Perubahan yang sedemikian cepat (regulasi kebijakan dan aksi-reaksi masyarakat)
-                    Ketidakpastian yang relatif tinggi (bencana alam yang silih berganti, situasi ekonomi yang tidak mudah di prediksi, dan perkembangan politik yang up and down).
Kesenjangan proses komunikasi politik yang terjadi di Indonesia antara pemerintah dan rakyatnya, maupun partai yang mewakili rakyat dengan konstituennya menjadikan berbagai fenomena permasalahan sulit untuk di pahami dengan logika awam masyarakat, seperti :
-        Indonesia kaya raya potensi Sumber Daya Alam(SDA), mengapa banyak yang miskin?
-        Anggaran untuk penanggulangan kemiskinan naik drastis dalam tiga tahun terakhir ini, dari 23 trilyun (2003) menjadi 51 trilyun lebih (2007), mengapa jumlah penduduk miskin justru meningkat dari 35,10 juta (2005) menjadi 39,05 juta (2006) ? Bukankah bila anggarannya di tambah dengan tujuan untuk menanggulangi kemiskinan, jumlah penduduk miskin seharusnya dapat berkurang.
-        Berikutnya, produksi pertanian konon surplus (meningkat) 1,1 juta dan bahkan kita oernah berswasembada pangan. Mengapa harga beras membumbung tinggi? Mengapa harus import terus? Semua ini membuat masyarakat pusing tujuh keliling karena tidak memahami kebijakan nasional.
Komunikasi politik ke bawah, secara efektif belum terjadi, sehingga hanya mengandalkan informasi dari berbagai media massa dengan variatif dan terkadang bisa berbau provokatif. Dalam situasi masyarakat seperti itu (kebingungan informasi), masyarakat tak tahu apa itu good governance.
Sekalipun pemerintah berusaha gencar memasyarakatkannya, namun proses dan cara yang salah dalam berkomunikasi justru akan di sambut dengan apatisme masyarakat. Dalam situasi masyarakat yang sedang belajar berdemokrasi, komunikasi politik yang transparan, partisipasi, dan akuntabilitas kebijakan publik menjadi sangat penting. Ini artinya, good governance menemukan relevansinya.
Laporan Global Competitiveness Report yang dipublikasikan oleh World Economic Forum (WFF) yang menganalisis daya saing ekonomi dengan pendekatan, yakni pendekatan pertumbuhan ekonomin (OCI) dan pendekatan mikro ekonomi (MCI) menunjukkan bahwa peringkata daya saing perekonomian Indonesia (Growth Competitiveness Index) merosot lagi dari urutan ke 64 di tahun 2001 ke urutan 67 (dari 80 negara) di tahun 2002, dan daya saing mikro ekonomi (MCI) turun sembilan tingkat, dari urutan ke 55 menjadi urutan ke 63. Sebelumnya sebuah survey yang dilaporkan pada bulan Juni tahun 2001, yang di lakukan oleh Political and economic Risk consultancy (PERC), menempatkan Indonesia dalam kelompok dengan resiko politik dan ekonomi terburuk di antara 12 negara Asia bersama Cina dan Vietnam. Di lihat dari kebutuhan dunia akan usaha, kepercayaan investor yang menuntut adanya corporate governance berdasarkan prinsip-prinsip dan praktek yang di terima secara Internasional (Internasional Best Practice), maka terbentuknya komite internasional mengenai kebijakan corporate governance, National Comittee on Corporate Governance (NCCG) di bulan Agustus tahun 1999 merupakan suatu tonggak penting dalam sejarah perkembangan Good Governance di Indonesia.
Secara riil, melihat data investasi ke Indonesia selama 2007, ada perkembangan luar biasa, karena realisasi PMA naik lebih dari 100%, dengan nilai realisasi investasi yang menembus US$9 miliar. Namun, penilaian dari lembaga-lembaga internasional sepertinya tidak ada perubahan yang signifikan dalam penerapan good governance secara konsisten. Berdasarkan survei World Bank 2007, ada perbaikan dalam situasi bisnis di Indonesia. Misalnya pada pembentukan usaha baru, Indonesia telah menunjukkan reformasi positif dengan percepatan pemberian persetujuan lisensi usaha dari Departemen Kehakiman dan simplifikasi persyaratan usaha.
Selain itu, Indonesia telah melakukan pencatatan semua kreditur dalam “credit registries”, dan memperbesar pagu kredit hampir lima kali lipat. Ini tentu akan memudahkan para entrepreneur untuk menambah modal usaha, selain menjaga terhadap risiko pemberian kredit bermasalah. Juga ada perbaikan dalam peng-eksekusi-an kontrak di Indonesia.
Walaupun demikian, dalam urutan peringkat Indonesia malah menurun. Dari total 175 negara, Indonesia berada di posisi 135, turun empat peringkat dibandingkan dengan tahun 2006. Dari sini bisa disimpulkan bahwa penerapan governance yang baik di Indonesia sudah mengalami kemajuan. Namun, negara-negara lain tampaknya berlari lebih cepat dibandingkan dengan Indonesia, karena mereka yakin dengan upaya demikian mereka unggul dalam menarik investasi.
Survei ACGA (Asian Corporate Governance Association) tentang praktik corporate governance di Asia juga menyebutkan penerapan indikator CGG di Indonesia semuanya berada di bawah rata-rata. Indikator ini meliputi prinsip dan praktik governance yang baik, penegakkan peraturan, kondisi politik dan hukum, prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan kultur. Dalam laporan itu disebutkan beberapa hal yang baik di Indonesia.
-        Pertama, walaupun kondisi pelaporan keuangan di Indonesia belum memadai, kualitas pelaporan keuangan kuartalan ternyata cukup bagus.
-        Kedua, Indonesia ternyata juga memiliki kerangka hukum yang paling .strict dalam memberikan perlindungan untuk pemegang saham minoritas, khususnya dalam pelaksanaan preemptive rights (hak memesan efek lerlebih dahulu).
-        Ketiga, gerakan antikorupsi yang dilakukan pemerintah telah menunjukkan hasil cukup positif. Ditambah lagi, penyempurnaan Pedoman Unium CGG, dan Pedoman CGG sektor perbankan yang dilakukan di Indonesia. Namun, masih menurut laporan tadi, belum banyak yang percaya bahwa pemerintah cukup serius mendorong penerapannya.
Selanjutnya, seorang pengamat mencoba mengkaji kadar penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia, beliau menyimpulkan bahwa ada beberapa pertanyaan yang perlu diperhatikan, apabila Indonesia akan menciptakan pemerintahan yang baik, antara lain :
1)             Bagaimana relasi antara pemerintah dan rakyat
2)             Bagaimana kultur pelayanan publik
3)             Bagaimana praktek KKN
4)             Bagaimana kuantitas dan kualitas konflik antara level pemerintah
5)             Bagaimana kondisi tersebut di provinsi dan kabupaten/kota
Dari kajian yang dilaksanakan, maka ditemukan ciri pemerintahan yang buruk, tidak efisien dan tidak efektif, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1)                  Relasi antara pemerintah dan rakyat berpola serba negara
2)                  Kultur pemerintah sebagai tuan dan bukan pelayan
3)                  Patologi pemerintah dan kecenderungan KKN
4)                  Kecenderungan lahirnya etno politik yang kuat
5)                  Konflik kepentingan antar pemerintah

















BAB III
PENUTUP
3. 1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
a)    Good governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara berbagai sumber daya dalam negara, sektor swasta, dan masyarakat.
b)   Prinsip-prinsip Dasar Good Governance, yaitu: Profesionalitas, Akuntabilitas, Transparansi, Pelayanan prima, Demokrasi dan Partisipasi, Efisiensi dan Efektifitas, Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat

3. 2 Saran
Penerapan Good Governance di Indonesia maupun di beberapa negara masih perlu adanya evaluasi dan perbaikan demi terselenggaranya kehidupan bernegara yang lebih baik lagi.
Pembuatan makalah Good Governance memerlukan banyak sumber yang mendukung. Banyak sumber yang mencantumkan perbedaan pendapat, namun masih dalam pokok yang sama, maka diperlukan kecermatan dalam memilah materi bagi penulis.
Semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca. Kritik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.















DAFTAR PUSTAKA

Usagi, kuro. 24 Mei 2016. “Makalah Good Governance”. http://mayurikooliviapertiwi.blogspot.com/2016/05/makalah-good-governance.html?m=1


 

49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar